KOTA DALAM KATA
--Hesti Daisy
Saya berada di
Samarinda sejak 2009 silam. Sampai tulisan ini diselesaikan, saya masih berstatus
sebagai seseorang yang numpang hidup di Samarinda untuk menyelesaikan studi di Universitas
Mulawarman. Silakan bayangkan bagaimana kali pertama saya tiba di sini, datang
dari sebuah desa kecil di Long Ikis, Kabupaten Paser. Melihat tepi-tepi jalan
penuh baliho macam-macam ukuran dan pesan serta kendaraan padat lalu lalang, rasanya
memang beda sekali keadaannya. Saya harus beradaptasi.
Rasanya terlalu
angkuh jika saya berkata saya sangat tahu seluk beluk kota ini. Pengetahuan saya
tentu tidak sebanding dengan pengetahuan teman-teman yang memang lahir dan
besar di sini. Saya menyerah jika diajak ngobrol soal politik, hukum, ataupun tata
kota. Bukan karena saya skeptis atau tidak kritis tentang itu, tetapi pemikiran
saya rasanya tidak bisa sejauh itu. Terlalu rumit rasanya. Saya khawatir tidak bisa
menyodorkan solusi yang tepat guna sebagai penyerta kritikan-kritikan.
Setiap orang
tentu punya penilaian tersendiri tentang kondisi kota ini. Di jejaring sosial
saya kerap menjumpai lebih banyak keluhan-keluhan dari teman-teman tentang apa
yang terjadi (terlebih kalau soal banjir, hehe) dibanding kebanggaan berada di
sini, dan itu manusiawi. Sekali lagi saya tidak berhak menghakimi penilaian mereka.
Saya justru berpikir dengan adanya suara-suara seperti itu, berarti masih ada
kepedulian terhadap kota ini. Pertanyaannya adalah, apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki keadaan?