Saturday, April 2, 2011

Para Lapar (tidak masuk hitungan para nominasi)

Dunia pertama (dunia dengan segenap kebebasan bercengkrama. Dunia kita) :
Lalat besar kecil beterbangan bebas di sekitaran rumah tanpa cat dengan kusen jendela yang berkarat. Tidak ada yang berniat mengusir lalat-lalat itu. Makanya mereka juga merdeka berkembangbiak sesukanya. Mempertahankan populasi dan melestarikan keturunan. Bukankah mereka juga makhluk Tuhan yang perlu mencari makan? Bukankah mereka juga hidup bersama kita di negeri yang menjunjung demokrasi? Yang sama-sama mencari rejeki? Walau dengan mencuri di rumah-rumah sekaligus menelurkan virus disentri. Bukankah semua sudah bebas? Dimana-mana hukum tetap sama, makan duluan atau dimakan. Betapa klise sebuah kehidupan.

Gani memegangi perutnya yang dililit lapar sejak kemarin siang. Ada perih yang sangat di sana. Mungkin bukan lagi magh jika sudah keseringan hal itu terjadi padanya. Kemarin ia hanya sempat sarapan. Ya, sarapan adalah sebutan istimewa ketika kemarin pagi ia berhasil memasukkan potongan roti kadaluarsa yang dibuang di tempat sampah samping sebuah minimarket ke mulutnya yang kering. Sarapan baginya adalah sebuah anugerah. Sarapan baginya adalah makan besar untuk bertahan hidup beberapa putaran jam kemudian. Menyiksa? Sebenarnya tidak juga. Bahkan ia sudah sangat terbiasa dengan lapar. Baginya lapar bahkan sudah menjadi karib kehidupannya. Kenapa tidak bekerja? Berusaha? Cari uang? Kantoran? Hei hei kawan, bagi Gani bekerja atau tidak toh pasti akan tetap kelaparan. Hanya versinya saja yang berbeda. Jadi lebih baik diam dan mengikuti permainan kehidupan sesuai peran. Seperti bermain catur di atas papan. Ia mati-matian meyakinkan dirinya sendiri bahwa bukan hanya dirinya yang kelaparan. Orang-orang berjas dan berdasi di luar sana pun pasti merasakan lapar. Tapi bukan lapar sepertinya. Ia kerap berbincang dengan hatinya, ya, hanya berdua dengan hatinya, karena baginya tak ada lagi manusia yang dianggapnya bisa dipercaya menjaga rahasia. Bagaimana mereka yang sudah berjalan dengan roda empat di atas aspal panas masih saja minta sayap agar bisa ramai-ramai memenuhi langit dengan deru mengepaknya. Perut mereka sudah buncit seperti buah semangka, entah isinya jus atau pizza. Kenyang? Ha, mereka masih lapar, Saudara-saudara. Lihat, lihat, lidah ularnya masih menjilati brankas dan tangannya mencengkeram luka pedih yang koyak milik saudaranya. Siapa bilang hanya Gani yang kelaparan? Ia kerap melambaikan tangan menolak halus pemberian makanan dari orang-orang yang menaruh iba pada tubuh ringkihnya. Bukan bermaksud sombong, tapi ia bukan seorang gelandangan. Ia hanya penikmat kehidupan dari jalanan. Yang terus berjalan dan singgah dari satu taman ke taman lain untuk berteduh sambil minum air keran. Membasuh wajah dan membasahi lidah.
Sudah kawan, sungguh, aku sedang tak lapar. Berikan saja makanan itu untuk yang di sana. Mungkin mereka masih membutuhkan. Angin Sang Penerjemah bahasa menafsirkan dan melaporkan apa yang didengarnya pada Alam. Entah di sana itu maksudnya apa. Tapi mungkin lebih baik tak usah bertanya untuk kedua kalinya.
Dunia kedua (dunia yang tak mengenal kita. Dunia yang hanya punya nama aku. Dunia yang tak mengenal sesama dan sebuah dunia yang kaku) :
“Tolol..! Apa mereka tak pernah duduk manis bersekolah? Ha, ya, wajar saja mereka begitu, karena memang mereka tak pernah mengenal sekolahan. Makanya tak tahu sopan santun. Makanya tak tahu diri. Syukur-syukur masih bisa makan akin ketimbang mereka kubiarkan mati berdiri.”
(Asap rokok berwarna-warni terbang ke langit-langit kamar bercat yang kusen jendelanya tak berkarat).
”Masih beruntung kusokong dana untuk rumah dan tunjangan makanan mereka walau hanya enam bulan. Setidaknya aku masih perhatian, kan? Siapa yang sebenarnya tak tahu diri? Aku atau mereka? Aku berani bertaruh, merekalah yang salah. Tak tahu diuntung. Puiihh..”
(Dan ludah-ludah muncrat dari mulut yang bertutur bejat. Sebagian mendarat di dasinya yang coklat).
Dunia ketiga (tempat Alam, Angin, dan Air berada) :
Dalam pandangan Alam, Gani sekarang sedang duduk mencakung di atas sebuah batu besar. Duduk merenung sambil bersiul rendah. Mendendangkan sebuah lagu kesedihan yang pilu. Mengundang Angin agar mengitarinya dengan hembus yang menenangkan jiwa. Angin meminta izin pada Alam untuk turun memenuhi undangan Gani. Alam mengizinkan, sekaligus memberi titah pada Angin untuk menyampaikan salam sejahteranya beserta suntikan keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja pada Gani. Angin mengangguk dan lantas terbang menuju batu.
“Bagaimana bisa Alam mengatakan itu sementara aku tahu ia sendiri tengah terluka? Kamu pasti bohong.” Tandasnya tegas ketika alat penyadap Alam berbicara hal yang sama, perkataan tiruan dari sumber Gani.
Angin menggeleng. “Itu amanatnya padaku untukmu.”
Gani mendengus. Sedikit kesal. Ia tahu ini salahnya. Sakit itu, pada Tanah dan Air, pada Angin juga. Ia kesal pada dirinya sendiri. Diacuhkannya lapar di perutnya. Ia harus menghukum dirinya atas perbuatannya pada Alam. Walau Alam sendiri sudah memaafkan.
“Seharusnya mereka yang harus menebus lapar. Bukan kamu, Gan.” Alam berkata pada Angin sebagai perantara komunikasinya dengan Gani.
“Seharusnya,..” kata Angin hendak mengulang, tapi terpotong.
“Aku tahu. Aku sudah menduga Alam akan katakan itu. Selalu. Tapi mereka juga sesamaku. Apa bedanya aku dengan mereka, huh? Ah, kenapa tak dia hukum saja aku sebagai tumbal penebus dosa?”
“Aku tidak tahu.”
“….”
Dan setelah itu hanya sepi. Seperti saat Angin belum datang menemui Gani. Benar, Angin sudah sedari tadi pergi. Dan sebelum Angin pergi, ia meninggalkan bungkusan berwarna merah di atas batu tempat gani duduk terpaku.
Andai dunia pertama, kedua dan ketiga berkumpul…
Sepeninggal Angin, Gani turun dan mengambil batu pipih tajam di dekat sebuah lubang, entah lubang buaya atau biawak sekitar tiga meter dari duduknya. Ia naik lagi ke atas batu hitam dan mendudukkan pantat serta pungungnya tenang. Batu pipih tajam digenggam di tangan kanan sedang dua matanya terpejam. Pikirannya menggambar sebuah sketsa dunia ketiga. Dimana di sana manusia semua rukun sentosa, binatang pun tak takut duduk bercengkrama dengan manusia. Dan Alam pasti senang dengan tubuh barunya. Kira-kira apa yang akan terjadi?
Di sana, Angin tak perlu repot-repot mengantarkan pesan-pesan perdamaian, dan Tanah tak usah capai-capai menghimbau manusia untuk tak menggerogotinya dengan paksa, karena ia bisa merajuk, dan Air tak akan pernah rasakan resah karena dikencingi dan ditimbuni sampah. Tak akan ada iri hati, tak akan ada lagi lapar sebab semua sudah merasa kenyang, tak ada dengki, tak ada yang tertindas, tak ada yang dicurangi, tak ada yang memakan hati saudaranya sendiri, tak ada yang membunuh sedarahnya, tak ada yang pelit untuk saling berbagi. Tak ada, karena semua serba ada, dan terjamin kecukupannya.
Dunia pertama (dunia dengan segenap kebebasan bercengkrama. Dunia kita) :
Lalat besar kecil masih beterbangan bebas. Di bawah sayap-sayap mereka, kecoak berlarian ke sana kemari. Bersembunyi di balik pintu-pintu lemari. Dan tikus-tikus rumahan dan got masih asyik bekeliaran. Bukankah ini negara demokrasi? Sah-sah saja kan? Toh mereka juga perlu makan dan mempertahankan kehidupan sampai tujuh turunan. Walau caranya dengan mencuri makanan dari bawah tudung saji orang dan menodongkan pistol mainan ke kepala korban. Ah ya, masih kelaparan rupanya. Untuk tujuh turunan mendatang alasannya ketika ditanya.
Gani sudah pulang. Membawa banyak cerita dari negeri dongeng tempat ia menghilang beberapa hari ini. Cerita dari negeri para peri yang baik hati. Negeri yang memberinya sebutir gula-gula yang ketika manisnya melewati terowongan kerongkongan, akan ada jaminan tak pernah memintanya lagi untuk kedua kali, ketiga kali, dan seterusnya. Karena memang gula-gula itu pengenyang sepanjang masa. Di negeri ketiga tempat Gani menemukan rasa terenak gula-gula, gula-gula itu dibagikan cuma-cuma. Ia ingin meminta beberapa butir gula-gula sebagai oleh-oleh perjalanannya pada Alam untuk dibagikan kepada teman-temannya yang kelaparan. Tapi sayangnya, Alam tak mengizinkan. Tidak cocok untuk perut mereka, katanya. Dunia yang berbeda. Makanan yang berbeda. Gani kecewa. Tapi apa yang bisa diperbuatnya? Di dua dunia yang tersekat oleh logam dan kertas, gula-gula itu pasti akan berganti rasa. Bukan lagi pengenyang sepanjang masa, tapi menjadi tak ubahnya seperti gula-gula biasa.
Gani hampir sampai di rumahnya yang tak berdinding dan tak berjendela ketika malam tiba di beranda kesunyian. Rumahnya hanya beratap potongan terpal yang dijepit dengan susunan balok dan diikat dengan tali rafia. Tanpa paku yang dipukul palu. Seperti biasa, ia lantas duduk menunggu orang-orang bertandang ke rumahnya untuk sekedar mendengar cerita negeri perinya.
Sejam, dua jam, dan belum satupun yang menemaninya duduk mencakung di rumahnya. Tidak biasanya. Teman-temannya tahu ia suka berkelana untuk mencari satu cerita pelipur lara entah kemana, dan mereka akan dengan setia menungguinya datang dan beramai-ramai berkumpul untuk mendengarkan cerita indah sampai mereka jatuh tertidur pulas dan mendengkur dalam malam-malam mereka yang selalu panjang dengan perut keroncongan. Gani menebarkan pandangan ke sekeliling rumah diantara gelapnya malam, penasaran dengan keganjilan. Berharap ia akan menemukan seseorang yang masih sudi diajaknya berbagi kisah luar biasa tentang mimpinya di dunia ketiga.
Gani beranjak dari duduknya, keluar dari sisi rumahnya yang mana ia suka. Menajamkan penglihatan ke seantero jangkauan matanya. Gelap. Terdengar tangis yang keras dari sebuah rumah kardus tak jauh dari apa yang disebut rumahnya tadi. Sigap ia mendatangi rumah itu. Tanpa perlu mengetuk pintu karena intusinya mengatakan tak perlu. Ia masuk, dan badan ringkihnya langsung lemas. Bayi kurus dan cacat dalam bedongan, sementara Ibu Bapaknya duduk tertelungkup kaku di sandaran kayu. Di depannya piring kosong tanpa makanan.
Apakah ia terlambat datang? Terlalu asyik bermain di dunia ketiga? Ah, ia menyesal. Andai ia bisa datang lebih awal dan menceritakan tentang keajaiban gula-gula ajaib di dunia ketiganya, setidaknya itu mungkin bisa menjadi penahan lapar mereka. Ah, tapi siapa yang bisa menolak kematian? Di gendongnya Si Bayi. Diajaknya keluar rumah yang sekaligus jadi kuburan bagi kedua orang tuanya itu. Esok akan diserahkannya bayi itu pada Alam. Bukankah ia anak Alam yang harus disusui dan disuapi makan? Gula-gula milik Alam di dunia ketiga mungkin pas untuk perut Si Bayi. Gani berharap.
Dunia kedua (dunia yang tak mengenal kita. Dunia yang hanya punya nama aku. Dunia yang tak mengenal sesama dan sebuah dunia yang kaku) :
Sebuah koran dilipat dan dihempas keras ke atas meja. Ada senyum puas di wajah-wajah sekeliling meja. Seringai yang makin buas.
“Biar mereka tahu siapa aku..”
(Dan gelas-gelas sirup aneka warna dan rasa itu berdentingan di atas meja. Satu korban telah mereka makan. Penuh mengenyangkan perut semangka mereka. Sementara daftar calon korban masih panjang di tangan mereka. Bukti kelaparan kemanusiaan.)
Dunia ketiga (tempat Alam, Angin, dan Air berada) :
Alam sedang kedatangan tamu. Gani dan seorang bayi. Angin, Tanah, dan Air turut serta duduk diantaranya.
“Aku sudah menyerah. Kuserahkan ia padamu untuk kau urus dia. Sebab jika tetap bersamaku, aku tak berani menjamin ia akan masih bisa bernafas ketika esok fajar mengganti hari.”
Alam mafhum. Ia hanya diam. Bayi itu sementara sudah diam dari tangisnya. Alam tahu sebentar lagi diam itu bukan sementara, tapi akan selama-lamanya. Tapi Alam tetap menerimanya dalam diam. Dan Gani tahu arti diamnya Alam. Gani pamit undur diri.
Andai dunia pertama, kedua dan ketiga berkumpul…
Yang kuingini
Tidak ada kursi
Dan semua akan duduk lesehan bersama kami
Yang kumau
Tak ada lagi madu
Sebab semua sudah ada untukmu
*tulisan Gani di atas batu hitam dulu..
*&*

Penulis bernama lengkap Hesti Kustrini. Perempuan berdarah Jawa kelahiran Paser (Kalimantan Timur) tanggal 29 Agustus 1991 ini sedang menempuh studi strata satu Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah di Universitas Mulawarman. Hobinya membaca sambil mendengarkan musik, menulis, travelling dan merenung. Penulis untuk sementara tinggal di Samarinda (indekos) di Jalan Wolter Monginsidi Gg. 07 RT. 22 no.31 Kelurahan Dadi Mulya Kecamatan Samarinda Ulu Kota Samarinda 75123 (indekos).
Penulis dapat dihubungi di email hekumie@rocketmail.com dan Fb Hesti Daisy serta di nomor handphone 0813466154xx
naskah ini diikutsertakan dalam lomba menulis cerpen bertema Kemiskinan pda Maret 2011

No comments:

Post a Comment