Baik. Seusai melakukan program Kuliah
Kerja Nyata di Karang Anyar Pantai (Tarakan) dan sungkem kepada orang tua (lebaran,
red) di kampung kelahiran saya, Tajer Mulya (Kab.Paser), akhirnya saya kembali ke kampus Mulawarman. Memulai
semester tujuh dengan sedikit rasa cemas. Bagaimana tidak, ada satu mata kuliah
yang menurut saya tidak boleh sembarangan dijalani. Karena saya mahasiswa
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), saya harus menjalani Praktik
Pengalaman Lapangan (PPL) selama kurang lebih 3 bulan di sekolah. Barangkali
Fakultas Keguruan di perguruan tinggi Indonesia lainnya juga memberlakukan program PPL ini. Jadi
izinkan saya untuk sedikit berbagi pemikiran ya. Semoga bermanfaat ^_^
Kecemasan saya lebih kepada bagaimana
nanti saya harus membuat kelas menjadi kondusif untuk kegiatan belajar mengajar
(KBM). Bagaimana mengelola kelas, dan mau saya perlakukan bagaimana peserta
didiknya. Kan sebelumnya pernah ngajar?
Benar. Memang saya pernah mengajar di
sebuah lembaga, tetapi itu anak sekolah dasar. Kalau PPL, kan minimal
ditempatkan di SMP sederajat kalau tidak di SMA sederajat. Membayangkan
bagaimana kelakuan anak-anak SMP dan SMA sekarang saja sudah cukup membuat saya
grogi setengah mati. Pikiran saya seakan-akan saya sudah berada di dalam kelas
dan berhadapan dengan puluhan pasang mata. Saya yakin kepala anak-anak sekarang bukan bagai tong kosong
yang dengan begitu saja sang guru seenak hati memasukkan atau memberikan apa
saja ke dalamnya. Tidak, mereka adalah makhluk yang berakal, yang bisa
menyaring informasi, memilah benar salahnya, kritis, dan sedikit nakal. Mereka
selektif lho dalam menerima informasi!
Sedikit menyinggung kata nakal, saya
teringat apa yang diucapkan dosen ketika memberi pembekalan kepada kami
(mahasiswa FKIP, red) di Auditorium Unmul kemarin. Ia berpendapat bahwa nakal
itu adalah suatu sikap berani, kritis, gemar bertanya, dan aktif. Secara
pribadi saya sepakat dengan pendapat beliau. Yang menjadi pertanyaan adalah,
apakah definisi nakal dosen saya itu sesuai dengan nakal yang berlaku di dalam
diri anak-anak sekolah? Mereka dalam proses penncarian jati diri lho! Diam-diam
saya penasaran dengan fenomena psikologi anak-anak sekolah sekarang. Mungkin
saya seharusnya masuk jurusan Bimbingan Konseling ya daripada Bahasa Indonesia,
hehe.
Guru;
Mengajar dengan Mendidik
Flash back ke tahun-tahun ketika saya
masih duduk di bangku sekolah, ketika sama sekali belum tahu harus kuliah di
jurusan apa. Sejarahnya saya masuk FKIP adalah yang pertama mungkin doktrin
orang tua dengan iming-iming jadi PNS. Dapat gaji rutin, banyak libur, tugasnya
hanya mengajar, dan ada jatah pensiunan. Hal lain yang melatari saya masuk FKIP
adalah kakak, dan banyaknya lowongan kerja menjadi guru beberapa tahun
mendatang. Saya tidak tahu, saya hanya menjalani saja. Saya suka belajar,
tetapi saya kurang tahu apakah saya suka mengajar. Saya termasuk tipe pembosan.
Saya tahu belajar bisa dilakukan dengan mengajar, tetapi saya kurang mengerti
bagaimana cara mengajar dengan mendidik. Saya tahu saya harus kreatif.
Saya pribadi mengakui menjadi guru
tidaklah semudah yang teman-teman bayangkan, yang mungkin hanya berdiri di
depan siswa, bicara bla bla bla, dan yah, sekadar transfer ilmu saja. Dalam UU
No. 14 Th. 2005 banyak dijelaskan soal keguruan ini. Singkatnya pada pasal 6,
tugas guru dan dosen adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menajdi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga Negara yang demokratis
dan bertanggung jawab. Potensi siswa lho yang dikembangkan, tentunya
potensi-potensi positif. Menemani masa belajar mereka dengan menyelaraskan IQ,
EQ, dan SQ. Pokoknya menciptakan Manusia Indonesia Sesungguhnya (MIS)! Kebayang
nggak sih?
Untuk mewujudkan semua itu, dalam diri
setiap calon guru, guru, dosen, dan pengajar serta pendidik manapun perlu untuk
menanamkan jiwa yang berwibawa. Masih dari ilmu pembekalan PPL, bahwa kewibawaan itu
setidaknya ditandai dengan 3 aspek; bisa dipercaya, berkasih sayang, dan mampu
bertugas (kompeten). Semua dibiasakan dari diri sendiri. Mulai dari cara
berpikir, bersikap, memandang positif diri dan sekitar, mendisiplinkan diri
terhadap waktu dan aturan, tidak asal menyalahkan siswa jika tidak bisa memberi
pembenaran, dan lain sebagainya.
Saya pikir menjadi guru banyak sekali
tuntutannya ya, harus ini dan harus itu. Ki Hajar Dewantara pernah berbagi semboyan familiar; Ing Ngarso
Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Semestinya begitulah
guru! Lalu, setelah saya pikir-pikir, saya tidak mau jadi guru biasa. Saya mau
jadi seorang pendidik yang menginspirasi. Semoga semester ini saya bisa
berdamai dengan diri sendiri, dengan situasi dan kondisi, dengan sekitar, serta
dengan harapan yang lebih baik lagi.
Sekian ya celotehnya, semoga lain waktu
kita bisa ketemu lagi ^^
Salam
Hesti
ikh ka' kuq sama siee :))
ReplyDeletebanyak2 ajj ka dibgi cerita.ea gmn2 ngajar ppl d'dpn kelas, mengkondisikan rasa grogi dgn kenakalan ank2 i2, sya ga prnh byangin nanti bakal ad d'dpn kelas..hhihihi
euhmm...insya Allah
Deletemakasih ya dah mampir :)
sudah ok koq. saya pernah baca artikel di sini http://mataharilain.wordpress.com/ topiknya ringan2 saja, diksinya bagus, kalimatnya easy reading, mengalir lembut terarah. Masih banyak artikel atau blog lain yang lebih bagus. Bisa curi ilmu mereka :D
ReplyDeletemakasih mas dah mampir..
Deleteselmt ngajar,hahaha :)