Thursday, August 30, 2012

Selamat Datang! Kembali Ngampus, Kembali ke Pendidikan



Baik. Seusai melakukan program Kuliah Kerja Nyata di Karang Anyar Pantai (Tarakan) dan sungkem kepada orang tua (lebaran, red) di kampung kelahiran saya, Tajer Mulya (Kab.Paser), akhirnya  saya kembali ke kampus Mulawarman. Memulai semester tujuh dengan sedikit rasa cemas. Bagaimana tidak, ada satu mata kuliah yang menurut saya tidak boleh sembarangan dijalani. Karena saya mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), saya harus menjalani Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) selama kurang lebih 3 bulan di sekolah. Barangkali Fakultas Keguruan di perguruan tinggi Indonesia lainnya  juga memberlakukan program PPL ini. Jadi izinkan saya untuk sedikit berbagi pemikiran ya. Semoga bermanfaat  ^_^

 
Kecemasan saya lebih kepada bagaimana nanti saya harus membuat kelas menjadi kondusif untuk kegiatan belajar mengajar (KBM). Bagaimana mengelola kelas, dan mau saya perlakukan bagaimana peserta didiknya. Kan sebelumnya pernah ngajar? Benar. Memang  saya pernah mengajar di sebuah lembaga, tetapi itu anak sekolah dasar. Kalau PPL, kan minimal ditempatkan di SMP sederajat kalau tidak di SMA sederajat. Membayangkan bagaimana kelakuan anak-anak SMP dan SMA sekarang saja sudah cukup membuat saya grogi setengah mati. Pikiran saya seakan-akan saya sudah berada di dalam kelas dan berhadapan dengan puluhan pasang mata. Saya yakin kepala  anak-anak sekarang bukan bagai tong kosong yang dengan begitu saja sang guru seenak hati memasukkan atau memberikan apa saja ke dalamnya. Tidak, mereka adalah makhluk yang berakal, yang bisa menyaring informasi, memilah benar salahnya, kritis, dan sedikit nakal. Mereka selektif lho dalam menerima informasi!
          Sedikit menyinggung kata nakal, saya teringat apa yang diucapkan dosen ketika memberi pembekalan kepada kami (mahasiswa FKIP, red) di Auditorium Unmul kemarin. Ia berpendapat bahwa nakal itu adalah suatu sikap berani, kritis, gemar bertanya, dan aktif. Secara pribadi saya sepakat dengan pendapat beliau. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah definisi nakal dosen saya itu sesuai dengan nakal yang berlaku di dalam diri anak-anak sekolah? Mereka dalam proses penncarian jati diri lho! Diam-diam saya penasaran dengan fenomena psikologi anak-anak sekolah sekarang. Mungkin saya seharusnya masuk jurusan Bimbingan Konseling ya daripada Bahasa Indonesia, hehe.
          Guru; Mengajar dengan Mendidik

          Flash back ke tahun-tahun ketika saya masih duduk di bangku sekolah, ketika sama sekali belum tahu harus kuliah di jurusan apa. Sejarahnya saya masuk FKIP adalah yang pertama mungkin doktrin orang tua dengan iming-iming jadi PNS. Dapat gaji rutin, banyak libur, tugasnya hanya mengajar, dan ada jatah pensiunan. Hal lain yang melatari saya masuk FKIP adalah kakak, dan banyaknya lowongan kerja menjadi guru beberapa tahun mendatang. Saya tidak tahu, saya hanya menjalani saja. Saya suka belajar, tetapi saya kurang tahu apakah saya suka mengajar. Saya termasuk tipe pembosan. Saya tahu belajar bisa dilakukan dengan mengajar, tetapi saya kurang mengerti bagaimana cara mengajar dengan mendidik. Saya tahu saya harus kreatif.
          Saya pribadi mengakui menjadi guru tidaklah semudah yang teman-teman bayangkan, yang mungkin hanya berdiri di depan siswa, bicara bla bla bla, dan yah, sekadar transfer ilmu saja. Dalam UU No. 14 Th. 2005 banyak dijelaskan soal keguruan ini. Singkatnya pada pasal 6, tugas guru dan dosen adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menajdi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Potensi siswa lho yang dikembangkan, tentunya potensi-potensi positif. Menemani masa belajar mereka dengan menyelaraskan IQ, EQ, dan SQ. Pokoknya menciptakan Manusia Indonesia Sesungguhnya (MIS)! Kebayang nggak sih?
          Untuk mewujudkan semua itu, dalam diri setiap calon guru, guru, dosen, dan pengajar serta pendidik manapun perlu untuk menanamkan jiwa yang berwibawa. Masih dari ilmu  pembekalan PPL, bahwa kewibawaan itu setidaknya ditandai dengan 3 aspek; bisa dipercaya, berkasih sayang, dan mampu bertugas (kompeten). Semua dibiasakan dari diri sendiri. Mulai dari cara berpikir, bersikap, memandang positif diri dan sekitar, mendisiplinkan diri terhadap waktu dan aturan, tidak asal menyalahkan siswa jika tidak bisa memberi pembenaran, dan lain sebagainya.
          Saya pikir menjadi guru banyak sekali tuntutannya ya, harus ini dan harus itu. Ki Hajar Dewantara  pernah berbagi semboyan familiar; Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Semestinya begitulah guru! Lalu, setelah saya pikir-pikir, saya tidak mau jadi guru biasa. Saya mau jadi seorang pendidik yang menginspirasi. Semoga semester ini saya bisa berdamai dengan diri sendiri, dengan situasi dan kondisi, dengan sekitar, serta dengan harapan yang lebih baik lagi.
          Sekian ya celotehnya, semoga lain waktu kita bisa ketemu lagi ^^

Salam
Hesti
         

4 comments:

  1. ikh ka' kuq sama siee :))
    banyak2 ajj ka dibgi cerita.ea gmn2 ngajar ppl d'dpn kelas, mengkondisikan rasa grogi dgn kenakalan ank2 i2, sya ga prnh byangin nanti bakal ad d'dpn kelas..hhihihi

    ReplyDelete
  2. sudah ok koq. saya pernah baca artikel di sini http://mataharilain.wordpress.com/ topiknya ringan2 saja, diksinya bagus, kalimatnya easy reading, mengalir lembut terarah. Masih banyak artikel atau blog lain yang lebih bagus. Bisa curi ilmu mereka :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih mas dah mampir..
      selmt ngajar,hahaha :)

      Delete