Friday, July 22, 2011

Awas, Bumerang! (catatan kacang goreng jurnalis ecek-ecek) :D

Ahad sore (17/7) kemarin dengan membonceng motor seorang teman, saya bersama beberapa kru UKM Jurnalistik Universitas Mulawarman ramai-ramai mengunjungi kantor Kaltim Post Samarinda dengan tujuan belajar. Belajar apa? Ya apa saja yang bisa dipelajari di sana. Jika ditanya apa kesan pertama ketika masuk pelataran kantor, saya akan menjawab biasa saja. Aneh? Saya rasa tidak sama sekali karena yang ada dalam benak saya selama ini adalah sebuah suasana kantor yang super sibuk dengan banyak orang lalu lalang. Entah jika kebetulan waktu berkunjung kami adalah akhir pekan, sore pula. Entah juga karena kantor yang ada di Samarinda bukanlah kantor pusat. Ini juga yang menjadi pertanyaan saya dari dulu—yang belum sempat saya tanyakan—kenapa justru yang pusat ada di Balikpapan, bukannya di ibukota provinsi?
Oke, kita abaikan sejenak pertanyaan-pertanyaan itu. Toh esensinya adalah mereka tetap menjalankan tugas sebagai jurnalis sejati. Hm, muncul satu pertanyaan unik, seperti apa jurnalis sejati itu? Yang wartawan sekedar mencari berita, ngos-ngosan dikejar tenggak waktu, setor tulisan melalui surat elektronik ke bagian redaksi, menunggu berita dimuat esok hari sambil menyeruput kopi panas, lalu begitu saja? Yang editor bahasa hanya mengecek EYD (sesuatu hal yang paling malas saya bahas sampai tuntas meskipun bidang konsentrasi akademik saya adalah bahasa) redaksi berita yang masuk ke daftar kotak masuk surat elektroniknya, dan bagian pemasaran hanya sekedar bekerja sebagai distributor ke agen-agen daerah? Saya pikir tidak mudah menjadi seorang jurnalis. Saya mulai membuat sebuah pernyataan bahwa seorang jurnalis sejati adalah mereka yang dengan berani mencari sebuah kebenaran berita. Bukan hanya karena kita tidak boleh berpihak pada salah satu kubu, tetapi adalah bagaimana kita pintar mengangkat isu, dan pelan-pelan mengarahkannya pada sebuah kebenaran. Semua pihak yang berkecimpung dalam dunia jurnalistik adalah orang-orang yang benar mengerti tugasnya sekaligus bertanggung jawab.


Orang yang akan kami temui jauh-jauh hari sayangnya sedang bepergian ke Jakarta sehingga kunjungan kami diterima dan didampingi oleh Redaktur Pelaksana sekaligus Kepala Sekretariat Kaltim Post, Bapak Muchtansyah. Saat ditanya apakah kami sudah pernah mendapat dasar-dasar ilmu jurnalistik, kami geleng kepala sambil tersenyum kecil. Memang secara profesional kami belum pernah belajar jurnalistik langsung dengan ahlinya, tapi kami belajar mandiri dengan menerapkan sistem ATM (Amati, Tiru, Modifikasi). Sebuah cara sederhana yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Beliau kemudian ikut tersenyum sambil menyarankan kami untuk mengikuti Latihan Jurnalistik Kaltim Post (LJKP) yang menjadi program tahunan Kaltim Post sebagai sarana kami mendalami ilmu kejurnalistikan.
Meskipun saya menilai beliau kurang memahami soal apa yang sesungguhnya kami inginkan, tak urung membuat kami juga belajar mengenai sedikit banyak seluk beluk media cetak terbesar di Kaltim itu. Obrolan mengalir, mulai dari bagaimana trik pemasaran produk, sampai kepada hukum-hukum yang menangani para wartawan yang biasanya mendapat atau meminta uang dari narasumber yang mereka temui. Mulai dari pembahasan pembagian ruang halaman yang ada untuk berita, iklan, dan sebagainya, sampai kepada bagaimana persaingan antara produk (berita) bermedia cetak dengan media maya.
Hal terakhir inilah yang paling saya suka pembahasannya, terlebih bagaimana sekarang media internet juga punya pengaruh besar terhadap pemberitaan terkininya bahkan setiap detik pun, berita terbaru bisa diakses hanya dengan membuka sebuah situs. Sangat berbeda dengan media cetak yang sifatnya harian, mingguan, atau malah bulanan. Sesuatu hal yang bisa ‘membasikan’ (saya tidak yakin ini istilah yang tepat untuk digunakan, tapi mohon pembaca bisa memaklumi) berita yang akan dimuat di media massa cetak. Luar biasa, bukan?
Saya sendiri tidak menyalahkan kehadiran media massa maya yang dengan super cepat tumbuh dan berkembang dalam dekade ini. Lagipula kehadirannya sangat membantu banyak aspek kehidupan manusia. Tapi saya juga tak pernah menyudutkan media massa cetak. Dari beberapa hal yang saya ketahui mengenai kedua hal tersebut adalah bisa jadi media massa cetak ‘sekarat’ karena biaya produksi mahal (akibat harga kertas dan tinta naik) dan untuk bisa bertahan hidup mereka kemudian beralih ke media internet yang kalau dipikir-pikir ada beberapa manfaat yang tidak terjangkau oleh media cetak yakni salah satunya bisa diakses oleh semua orang diberbagai belahan dunia.
Disamping itu, hendaknya kita berhati-hati pula dalam menggunakan media internet sebagai alat pemberitaan sebab bagaimanapun muasal koran adalah berbentuk cetak. Kita tidak boleh asal menggantungkan kehidupan koran pada internet. Pernahkah terbayang dalam benak kita seandainya suatu masa sistem komputerisasi dan internet di dunia ini mandeg? Apa yang akan terjadi pada nasib berita-berita itu jika kita tidak memiliki (setidaknya) arsip dalam bentuk cetak?
Saya pikir ini adalah perang media. Bapak Muchtansyah sendiri sempat bertutur pada kami bahwa salah satu mitranya bahkan s-a-n-g-a-t eksis dalam dunia internet. Sebenarnya tidak ada kesalahan fatal, malah ini akan membuat nama medianya makin dikenal banyak orang. Tapi tidakkah mereka berpikir tentang masa lalu dan masa depannya? Beliau bahkan sempat berkelakar bahwa mereka ‘bunuh diri’.
Sampai saya menulis ini, saya masih menyimpan kata yang saya kira sangat cocok untuk dijadikan komposisi judul. Saya menginginkan judul yang menarik untuk dibaca orang-orang dan saya menginginkan mereka jatuh cinta pada tulisan saya. Bukankah hanya dengan membaca atau mendengar nama seseorang, kita bisa saja membayangkan betapa cantiknya si pemilik nama itu? Akhirnya sebelum senja ini diwarnai hujan, segera saya tuliskan kata BOOMERANG!
Salam hangat, semoga bermanfaat.

(Hesti Daisy, genap senja dua puluh Juli yang hujan)
Cuap-cuap Penulis
*Untuk ini saya benar-benar ‘memaksa diri’ untuk belajar menulis laporan dengan memakai bahasa Indonesia dengan baik. Memilih menulis tenggak waktu daripada deadline ,internet daripada online, akhir pekan daripada weekend, produk daripada output, bertahan hidup daripada survive, kotak masuk daripada inbox, dan surat elektronik daripada e-mail meskipun tatanan bahasanya jelas masih carut marut di snaa sini dan malah ada beberapa kata dengan aksen daerah. Ingat, yang baik belum tentu benar, lho. Sekian, harap maklum. hekumie@rocketmail.com ^.^

2 comments:

  1. detail sekali ceritanya... benar-benar jiwa jurnalistik, hehehe
    i like

    ReplyDelete
  2. heheh...ada juga toh yang baca tulisan ini :)
    thanks yua..

    ReplyDelete