Monday, June 25, 2012

Analisis Novel Gampiran


Nama           : Hesti Kustrini
NIM             : 0905075025
Kelas            : Reguler A
Mata Kuliah   : Kritik Sastra


ANALISIS INTRINSIK NOVEL INNI INDARPURI
GAMPIRAN: TAKDIR MUNITA
(Dibuat sebagai tugas akhir mata kuliah Kritik Sastra Program Studi Pendidkan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Mulawarman tahun ajaran 2011-2012)


 

Judul novel           : Gampiran: Takdir Munita
Pengarang            : Inni Indarpuri                                          
Penerbit                : Kalika, Yogyakarta
Tahun terbit          : 2012
Dimensi buku        : 208 halaman; 12 x 19 cm
Harga                   : Rp 27.500,-


A perfect judge will read each work of wit
With the same spirit that its authir writ
-Alexander Pope
Essay on Critism II

A.   Inni Indarpuri dan Gampiran
Inni Indarpuri adalah seorang novelis perempuan Kaltim. Ia menulis Gampiran sebagai novel keduanya setelah ia menyelesaikan buku pertama dwilogi Di Antara Dua Cinta. Kedua novelnya sarat akan nuansa lokal dan pesan moral terkait lingkungan hidup.
Inni menulis Gampiran karena gampiran merupakan suatu lokalitas budaya yang ada di sebagian masyarakat Kutai dan Banjar yang mengakui keberadaan gampiran. Dalam keluarganya pun ada tradisi bebebuang, yakni sebuah ritual jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit dan tak kunjung sembuh. Jalannya ritual adalah dengan melarungkan ketan dan seperangkatnya ke sungai kemudian air sungai itu diambil untuk disapukan ke sekujur tubuh. Untuk perihal kesurupan gampiran buaya pun masih ada sampai sekarang, karenanya biasanya sebelum diadakan acara perkawinan, mereka yang mempercayai gampiran ini akan bebebuang dahulu. Sekarang, perangkat bebebuang berkembang dengan bukan hanya ketan tetapi juga Al Fatihah sebagai sedekah atau hadiah untuk gampiran.
Inni Indarpuri gemar menulis sejak ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Ia membuat majalah-majalahan berjudul Indrapuri yang isinya berupa cerita-cerita dan ia jilid sendiri lalu dibaca oleh teman-temannya. Ketika SMP, ia terinspirasi membuat novel ala 5 Sekawan dengan versi yang berbeda. Saat SMA dan kuliah ia mengirimkan cerpennya ke Manuntung (sekarang Kaltim Post) dan itu membuatnya bangga sebab ketika itu ia mendapat honor yang lumayan sekaligus dengan begitu ia bisa menghadiahi kawan-kawannya dengan dimuatnya cerpen itu (dengan cara mencantumkan nama kepada siapa cerpen itu dibuat).
Gampiran, bahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tak ditemukan arti kata itu. Gampiran dalam konteksnya berarti kembar antara manusia dengan buaya. Artinya bukan mereka merekat, saling berdempet, atau menempel secara fisik, melainkan begampiran adalah persatuan atau perpaduan secara rohani antara dua roh yang berbeda; roh manusia yang hidup di alam nyata (dunia) sementara roh buaya yang hidup di alam gaib dalam hal ini digambarkan di kedalaman sungai (Gampiran: 9).
Korrie Layun Rampan yang memberikan endorsement novel ini mengatakan, dalam Sastra Nusantara atau Sastra Indo Belanda, dicantumkan nama Louis Couperus (1863-1923) yang menulis novel De Stille Kracht yang di dalam Bahasa Indonesia menjadi Alam Gaib atau Kekuatan Diam. Di dalam novel yang ditulis pada zaman penjajahan Belanda di Pasuruan, Jawa Timur ini memperlihatkan sekian banyak kejadian ajaib yang berhubungan dengan hal-hal magis dan kekuatan supranatural. Novel ini berbicara tentang kekuasaan dan keinginan bahagia tokoh-tokohnya, namun nasib dan takdir membawa mereka pada kenyataan lain dari hidup yang sebenarnya. Dalam Gampiran hal-hal demikian tersua bagus lewat narasi dan dramatisasi peristiwa (Gampiran: 202).
Gampiran menunjukkan kearifan lokal yang dalam. Dalam novel ini diceritakan bahwa dahulu ada namanya Perjanjian Hulu dan Hilir, yakni perjanjian territorial yang dibuat berdasarkan konsensus antara manusia dengan buaya setelah pernah terjadi perselisihan di antara keduanya. Selama beberapa kurun waktu kedua jenis makhluk ini saling menjaga perjanjian mereka, hingga suatu ketika perjanjian itu dilanggar oleh kalangan mereka sendiri.
Gampiran membuat pembacanya cukup untuk merenungkan apakah ia sebagai manusia juga memiliki gampiran (kembaran), dan jika benar, apakah itu terjadi pada setiap diri manusia atau untuk orang-orang tertentu saja? Selesai membaca novel ini bulu kuduk pembaca meremang, membayangkan gampiran.

B.   SINOPSIS
         Novel ini diawali dengan kisah kesurupannya Monika. Kisah kelahiran Monika di kampung Sangta adalah kunci untuk mengetahui apa yang merasuki tubuh Monika. Delapan belas tahun lalu Monika lahir bersama gampirannya dalam wujud buaya (Munita). Namun karena keduanya berbeda jenis dan tentu saja berbeda habitatnya, maka atas saran Dukun Beah, ibu melahirkan itu terpaksa membuang anak buayanya ke sungai belakang rumah atas alasan agar orang-orang tak tahu bahwa ia telah melahirkan anak gampiran. Sebagai janjinya, setiap purnama ibu itu akan mengirim nutrisi (sebutan makanan gampiran) dari sungai belakang rumahnya. Monik dirasuki Munita sebagai bentuk protes Munita kepada ibunya yang telat memberinya nutrisi pada suatu purnama.
         Munita bayi yang ketika itu dihanyutkan ke sungai oleh ibunya sendiri akhirnya di bawa oleh Buyan, seekor buaya kuning jantan ke goa tempat ia tinggal bersama Paman Riu, makhluk bijaksana yang sedang bersemedi untuk menjadi naga yang kuat.
         Dalam usia dua makhluk satu gampiran itu, mereka punya cerita asmara. Monik telah menjalin kasih dengan seorang guru honorer di Sangtana bernama Wirawan. Sementara Munita di bawah kedalaman sungai sana diam-diam mengagumi Buyan yang perkasa. Namun kemudian muncul masalah, Seduyong, seekor buaya putih dari Serawak telah mencuri perhatian Buyan, dan Munita merasa cemburu akibat cintanya dirasa bertepuk sebelah tangan.
         Kehadiran Seduyong rupanya ada kaitannya dengan Tuan Hisyam, seorang pemilik dan komisaris utama PT. Raksasa Sangtana, kontraktor pelaksana penambangan batu bara di Sangtana. Ia mempunyai kaki tangan setia bernama Tua Mor yang kebetulan adalah seorang pawang buaya handal. Posisinya dan posisi perusahaannya sedang dalam keadaan terancam karena konon akan ada unjuk rasa besar-besaran di lokasi tambang menolak eksploitasi tambang yang dipimpin oleh seorang pemuda bernama Wirawan yang tak lain adalah kekasih Monik.
         Tuan Hisyam kemudian memerintahkan Tua Mor untuk mencari segala informasi tentang Wirawan, dan ia tak percaya atas laporan yang ia dapatkan dari Tua Mor bahwa di kedalaman sungai sana ada gampiran buaya, dan ini membuat murkanya semakin menjadi karena ia sangat benci hewan reptil itu.
         Rupanya, Seduyong juga ikut andil dalam persekutuan itu. Ia diperalat Tua Mor untuk memperdaya Buyan, dan dengan begitu ia dapat dengan mudah memusnahkan buaya itu. Paman Riu menjelaskan ini kepada Munita setelah Munita nyaris tertangkap oleh Tua ketika ia nekat ke Sangta. Ketika itu Munita tidak mendapati Buyan di goa. Kata Paman Riu ia pergi ke Serawak untuk melihat keadaan Seduyong. Munita kemudian marah dan memutuskan untuk pergi ke kampung. Sebenarnya hal ini dulu sempat dilarang oleh Buyan karena dulu ia hampir tertangkap oleh seorang pawang yang berbeda dengan pawang biasanya, namun dengan ketangkasannya ia bisa lolos dari perangkap itu. Pada dasarnya Buyan sangat menyayangi Munita dan tak ingin Munita terluka apalagi sampai tertangkap oleh pawang yang dulu menangkapnya. Buyan merasa pawang yang menangkapnya terlalu hebat.
         Tetapi karena terlanjur kecewa dan ia telah cemburu buta, Munita nekat pergi ke kampung halamannya juga karena lantaran ia telah beberapa purnama tak pernah lagi dikirimi nutrisi oleh ibunya. Munita mengambil keputusan untuk beujud menjadi manusia. Ia terkejut ketika di kampung dilihatnya Monik, adiknya itu akan melaksanakan upacara pernikahan dengan Wirawan. Ia kian marah kenapa ia tak diberitahu sebelumnya. Ia merasuki Monik untuk kedua kalinya. Namun dari sanalah ia akhirnya tertangkap oleh Tua Mor.
         Dalam kepungan manusia, Munita merasa hatinya sedih, ia ingin setidaknya Ibunya menyelamatkannya dari ikatan-ikatan. Ketika itu Buyan muncul sebagai ksatria menyelamatkan Munita dengan cara mengalihkan perhatian Tua Mor dan warga lain dari kampung sebelah, memangsa manusia. Ketika orang-orang berlarian ke kampung sebelah itulah ibunya kemudian memutuskan ikatan dari tubuh Munita sambil meminta maaf karena tak bisa berbuat banyak termasuk mengirimi nutrisi sebab geraknya dibatasi oleh Tua Mor, sang pawang buaya. Munita menjadi tahu kebenarannya, bahwa pawang yang dulu nyaris membunuhnya dan Buyan adalah pawang yang sama, Tua Mor.
         Buyan akhirnya ditangkap, dan Monik berjanji pada Munita untuk membantu membebaskan Buyan. Ketika itu unjuk rasa menentang eksploitasi tambang masih berlangsung di Sangtana, dan Monik berusaha membebaskan Buyan dari penjagaan penjaga. Ketika telah bebas, Monik menyuruh Buyan untuk lari tetapi Buyan tak memperhatikan. Buyan justru mengamuk dengan mengibaskan ekornya ke arah penjaga, satu per satu mereka tumbang. Ketika itulah Tua Mor datang dan menyuruh penjaga lainnya menombaki Buyan. Pergulatan terjadi. Monik dan Buyan tersudut. Mengetahui istrinya diserbu, Wirawan datang dari Puskesmas (dalam unjuk rasa sebelumnya ia tertembak oleh Tua Mor dan dirawat di Puskesmas) melindungi Monik dan Buyan, kekasih idaman saudara gampiran istrinya. Buyan yang merasa telah dibantu tak tinggal diam. Ia menyambar kepala Tua Mor sampai Tua Mor tewas.
         Lalu muncul seorang yang menaruh dendam kesumat pada Wirawan dan mengarahkan pistolnya ke arah Wirawan. Ia adalah Tuan Hisyam. Buyan yang dikira sudah mati karena tusukan tombak yang mengoyak perutnya beraksi, berusaha melindungi pelindungnya, Wirawan dan Monik yang ketika itu bersimbah darah terkena tombak. Peluru mengenai tubuhnya berkali-kali hingga Buyan benar-benar tumbang. Setelah itu Tuan Hisyam melarikan diri sebagai pengecut dengan helikopternya.
         Buyan dan Monik akhirnya meninggal bersama jiwanya yang heroik. Munita lalu menyadari beberapa hal bahwa selama ini Monik tahu apa yang dikerjakan dan dilakukannya dimana pun berada bahkan ketika ia cemburu pada Seduyong dan ia dihibur-hibur oleh Paman Riu yang bijaksana. Monik bahkan rela dan ikhlas tubuhnya dirasukinya. Ia juga akhirnya tahu bahwa sebenarnya Buyan mencintainya sejak dulu tetapi hanya belum menyadari itu, kata paman Riu. Ia benar-benar telah kehilangan dua pahlawannya, dua makhluk yang disayanginya.
         Dari seluruh kejadian yang menyentuh itulah, takdir Munita hadir secara nyata!

C.   MENJELAJAH INTRINSIK GAMPIRAN
1.    Tema
   Sebuah karya fiksi, baik itu berupa novel, roman, cerpen, atau cerbung haruslah mengatakan sesuatu, yakni pendapat pengarang tentang hidup dan kehidupan sehingga pembaca lebih mudah dalam memetik manfaat dan memahami hidup dengan lebih baik. Tetapi tema tidak selalu harus berwujud ajaran moral atau tentang moral. Umumnya, tema hanya berwujud pengamatan pengarang terhadap kehidupan. Seringkali pengarang hanya mengungkapkan suatu masalah. Masalah itu dibiarkan sebagai masalah pembaca dan pembacalah yang berusaha memecahkannya.
   Biasanya dalam karya fiksi yang baik, tema selalu tersamar. Pengarang mengungkapkan tema dalam keseluruhan elemen ceritanya, apakah dalam dialog, jalan pikiran atau perasaan, kejadian-kejadian, setting, dan sebagainya. Tema yang baik adalah yang bersifat universal, tidak bersifat momental atau temporer (Korrie Layun Rampan dalam Apresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir, 2009:3)
   Novel Gampiran karya Inni Indarpuri memiliki tema yang cukup kompleks. Ia adalah sesuatu yang harus disimpulkan, perpaduan antara cinta, cemburu, ambisi kekuasaan, dan politik serta sedikit bumbu mistis. Agak sukar menyimpulkannya, dan karenanya silakan membaca dan menyimpulkan tema Gampiran ini sampai tuntas.
2.    Plot
        Putu Arya Tirtawirya (dalam Apresiasi Puisi dan Prosa) dengan mengutip Rene Wellek dan Hudson lewat Boen S. Oemarjati dan pendapatnya bahwa plot adalah rangkaian kejadian dan perbuatan, rangkaian hal-hal yang yang diderita dan dikerjakan pelaku-pelakunya (Hudson). Boen S. Oemarjati sendiri berkesimpulan bahwa plot ialah struktur penyusunan kejadian-kejadian dalam cerita yang disusun secara logis (Apresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir, 2009: 4)
        Inni menyuguhkan plot yang indah dalam Gampiran sehingga pembaca, seawam apapun tentang gampiran, ia akan tetap dapat mengikuti jalan cerita karena ditunjang pula oleh bahasa dan hal-hal keseharian seperti cinta, kecemburuan, dan dendam. Hal-hal inilah yang coba ia salurkan dari balik ruh tulisannya. Jika ditilik, sangat sedikit dalam Gampiran yang memakai sorot balik (flash back), sebaliknya alur dalam Gampiran banyak dibawa maju hingga menemukan sebuah titik akhir yakni takdir Munita.
3.    Setting
        Bicara tentang setting, ada banyak hal yang perlu dipahami bahwa setting tak hanya berkutat pada latar tempat dan waktu. Ia lebih luas, setidaknya meliputi latar keadaan, suasana, tempat, dan waktu. Gampiran menempatkan setting-setting itu dalam masing-masing tempatnya dan saling mendukung. Simaklah kutipan berikut:
        Kembali ke habitat di kedalaman muara sungai dengan perut kenyang setelah menghabiskan sebaskom ketan kuning, membuat instingku kembali normal. Buyan menyambutku di pintu gerbang. Tergambar jelas kecemasan di wajahnya. Aku tahu ia sangat khawatir padaku. Sejurus kemudian ia bersuara lega setelah memerhatikan tubuhku tak kurang satu apapun (Gampiran: 35)
        Dari sana nampak beberapa setting seperti dimana tempatnya, bagaimana suasana ketika tokoh “aku” kembali ke habitatnya. Jadi dalam sebuah kisah dapat kita ketahui spot setting-nya dengan hanya memperhatikan apa yang tertuang di dalam induk kalimat dan anak-anak kalimatnya.
4.    Sudut Pandang
        Sudut pandang dalam Gampiran oleh Inni Indarpuri dibuat sebagai dominan orang pertama yang bercerita. Nampak hampir dalam setiap sub bab novel ini senantiasa menggunakan kata aku. Dalam hal ini tokoh aku adalah gampiran (buaya kuning).
        Aku mengerling. Lega rasanya. Bagai tetes embun pertama kalinya jatuh pada musim kemarau panjang, saat mencium harum karbohidrat dan protein yang baunya sangat menyengat namun nikmat. Asapnya mengepul bermain di hidungku. Ya, sebentar lagi ritual ini akan kuakhiri dan aku kembali ke habitatku, di kedalaman sungai (Gampiran Bab I: 18).
          Entah sudah berapa kali aku menyaksikan tubuh kekuning-kuningannya bermandikan cahaya. Aku sudah menyaksikannya beribu-ribu kali sejak aku bayi. Warna tubuhnya tentu tak jauh berbeda dengan warna tubuhku. Karena kami satu jenis, dan menurut manusia bumi kami bukan buaya biasa, melainkan buaya kuning (Gampiran Bab IV: 63).
          Tentu saja aku dan ibu mempunyai bahasa komunikasi yang tidak dimilki orang kebanyakan. Komunikasi yang khusus dibangun hanya antara aku dan ibu, dengan bahasa non verbal. Namanya hypnosis. Biasa kulakukan di saat ibu melaksanakan ritual bebebuang, tetapi jika kondisi mendesak aku bisa menghubunginya kapan saja. Ya, aku hanya memejamkan mata, berdiam diri sambil memusatkan pikiranku dengan menembus critical factor, penghalang antara aku dan ibu (Gampiran Bab VIII: 86).
                       Terkadang Inni juga membawakan ceritanya dalam sudut pandang orang ketiga seperti dalam kutipan berikut:
                       Ia mengelilingi ruang tamu beberapa kali, kemudian kea rah meja makan dan sesekali menuju kamar. Entah apa yang ingin ditemukannya. Sejurus kemudian ia memutar kembali menuju ruang makan, dan berdiam lama di sana. Terdengar suara nafasnya terengah. Tiada yang tahu pasti apa yang tengah berkecamuk di pikiran Monik, nama panggilan kecilnya (Gampiran Bab I: 10-11).
5.    Perwatakan
        Dalam hal perwatakan, Jakob Sumardjo memberikan perincian untuk mengidentifikasikan perwatakan, sehingga pengarang bisa menempatkan tokohnya dengan karakter yang cocok dengan apa yang akan ia tulis. Penggambaran watak atau karakter itu dapat dilakukan dengan lima hal.
        Pertama, melalui perbuatan, tindakan tokoh khususnya sikap tokoh pada saat kritis. Jakob mengatakan, watak seseorang bisa dicerminkan dengan jelas dari sikapnya ketika situasi gawat. Ia tidak suka berpura-pura. Ia akan bertindak spontan sesuai watak aslinya. Dalam hal ini, pengarang hasrulah bisa menciptakan suatu situasi. Situasi kritis mengharuskan tokoh mengambil sikap dengan segera.
        Kedua, melalui ucapan. Ucapan seorang tokoh segera dapat dikenali siapa dia.apakah ia seorang pemuda, orang berpendidikan tinggi atau rendah, kira-kira suku apa, pria atau wanita, orang berbudi halus atau tidak, orang jahat atau orang baik-baik.
        Ketiga, melalui penggambaran fisik tokoh. Seorang pengarang haruslah dapat mengenalkan tokohnya; misalnya lewat penggambaran bentuk tubuh, raut wajah, tinggi badan, bentuk pakaian tokoh, dan sebagainya.
        Keempat, melalui pikiran tokoh. Pengarang harus dapat menggambarkan pikiran tokoh yang diciptakannya. Dengan melukiskan pemikiran itu, pembaca dapat mengerti alasan tindakan yang dilakukan oleh tokoh tersebut sehingga ada kausalitas sebab akibat yang dipikirkan dan yang dilakukan tokoh.
        Kelima, melalui penerangan langsung. Pengarang melukiskan dan memaparkan langsung watak tokoh (Apresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir: 6).
        Bicara panjang lebar mengenai perwatakan, dalam Gampiran ada beberapa tokoh sentral seperti Aku (Munita, si buaya kuning), Monika, Ibu, Buyan, Paman Riu, Tua Mor, Tuan Hisyam, Seduyong, dan Wirawan, dan Dukun Beah.

a.    Aku (Munita;gampiran; buaya kuning)
         Aku adalah tokoh yang merasa dibuang dari keluarganya lantaran wujudnya yang berbeda. Sempat ia merasa sedih karena hal demikian, tetapi memang begitulah layaknya. Habitatnya bukan di antara manusia, tetapi di kedalalam sungai hingga akhirnya ia ditemukan Buyan yang pengasih.
          Tanpa pelukan, tanpa ciuman, bahkan belum sempat diadzani seorang ayah aku dibuang di sungai yang terletak di belakang rumah. Aku larut ditelan kegelapan malam, selimut kain kuning tak mampu menjaga hangat cinta yang kuperlukan dari seorang ibu. Aku merasa bagai bintang jatuh di keheningan malam yang gelap tanpa bintang hingga sesuatu menyentuhku….Kasih sayang Buyan yang menemukanku lalu membawaku ke alam bawah sungai, kediaman baruku (Gampiran: 21)
          Aku juga memiliki kelembutan dan berperasaan hatinya.
          Sekali lagi kupandang ibuku yang masih cantik di usia keempat puluh. Ia mengamatikudengan berdiri di ambang pintu. Ibu sangat jelita dengan kebaya hijau dipadu kerudung tipis warna sama melingkar di kepalanya. Kerudung yang sedari tadi ia gunakan untuk mengusap air mata. Maafkan aku membuatmu menangis ibu, tapi aku merasa dengan pertemuan ini aku lebih mengenal keluarga kita. Sesuatu yang tidak pernah kurasakan selama delapan belas tahun ini. Meskipun aku tahu kehadiranku  tak diterima sepenuhnya (Gampiran: 26-27).
          Namun di luar kelembutan hatinya, ia pernah marah dan memberontak. Ini terjadi ketika pernah ibunya telat memberinya nutrisi dan di lain kondisi ia tak diberitahu kabar pernikahan adiknya, Monik oleh ibunya sehingga ia protes dengan cara merasuki tubuh Monik, saudara gampiran manusianya.
          Jika saat ini aku terpaksa pulang ke rumah ibu dan merasuk ke dalam tubuh saudara kembarku karena ibu lupa mengantarkan nutrisi yang kubutuhkan. Keterlambatan ibu bebebuang sempat membuatku lapar nutrisi. Setelah delapan belas tahun ia tak pernah alpa bahkan tak pernah menggeser waktunya, purnama kemarin ia lupa. Jika sampai tiga purnama ibu tak mengirimiku, aku bisa sakaw (kondisi lapar nutrisi yang membuat emosi membumbung tinggi, tak bisa terkendali). Tak bisa kubayangkan jika itu terjadi. Dalam keadaan sakaw aku tak bisa mengendalikan emosi, membabi buta, dan tak terkendali. Mencari nutrisi ke kampong halaman adalah hal umum yang bisa dilakukan. Fatalnya hal yang menjijikkan bisa terjadi. Bisa saja aku menjadi liar lalu mengonsumsi karbohidrat dan protein yang terbungkus di dalam tubuh manusia! (Gampiran: 23).
            Lain daripada itu, Munita juga pernah merasakan jatuh cinta. Hal ini ia rasakan karena kedekatannya dengan Buyan yang telah berlangsung lama. Sayangnya, Munita tidak tahu banyak soal jatuh cinta. Terlebih ia tidak tahu apakah Buyan merasakan hal yang sama dengan Munita.
            Aku kian menyukai Akki, semakin tak sabar mengungkpakan betapa aku memang sangat menyukai Akki. Bukan sebagai adik kakak yang selama ini terpikirkan olehku. Ah, apakah ini memang wajar, apakah rasa ini memang ada? Apakah ini juga dirasakan manusia, atau justru karena aku separuh manusia maka aku mempunyai keinginan untuk dibaui Akki? Namun mengapa Akki tidak pernah mempunyai rasa seperti yang kurasakan? Ia bahkan tak pernah mengajariku bagaimana cara membauai pasangannya (Gampiran:71).
          Pemberontakan dan sikap gegabah karena cemburu pada Seduyong membuat ia nekat menuju pernikahan Monik dengan cara beujud yang ukuran berhasil atau gagal tipis sekali dan beresiko menggadai nyawa.
          “Aku tak mau mati sakaw di sini, Paman! Hanya akan membuat siluman buaya itu menyaksikanku dengan senang. Lebih baik aku mati di kampong halamanku disaksikan ibuku!” (Gampiran: 139)
          Aku harus mengacaukan cermin di depanku ini. Aku tak mau pernikahan ini benar-benar terjadi. Pernikahan ini harus digagalkan. Bukankah aku pernah melakukannya. Yah, bagiku tidak sulit bagiku melakoninya sekali lagi, merasuk ke tubuh Monika! (Gampiran: 146).
          Nyatanya inilah yang akhirnya membuatnya tertangkap oleh sang pawang tersohor, Tua Mor ketika ia merasa dijampi-jampi oleh orang yang tadi duduk di sebelah ibunya.
          Sebelum aku benar-benar terperangkap, aku  harus keluar dari lingkaran ini. Ah ya, sungai. Aku harus segara menuju sungai. Sebab jika gelisah ini kian membumbung, aku dapat saja dilumat habis oleh pawing itu. Akkhhh…terlambat, aku mendengar jampi-jampi itu, ritual sang pawang. Seluruh persendianku tiba-tiba lumpuh. Aku takluk. Sukmaku terpanggil untuk mengikuti perintahnya (Gampiran: 156).
b.    Monika
          Monika adalah saudara gampiran Munita sekaligus adiknya dalam wujud manusia. Ia dilahirkan lebih dulu dari rahim ibunya, dan karena konon kepercayaan masyarakat di kampungnya bahwa yang lahir lebih dulu itulah sang adik.
          Senja yang temaram ketika seorang dukun beranak bermandi keringat berusaha mengeluarkan bayi kembar dari rahim seorang ibu. Ialah aku dan Monika kembaranku yang akan menghirup udara bumi kala itu. Monika dulu menyapa dunia ketimbang aku. Di kampungku jika anak kembar keluar duluan berarti ia adiknya. Konon di dalam rahim, sang kakak biasanya mempersilakan adiknya keluar lebih dulu, baru kemudian kakaknya menyusul (Gampiran: 17-18).
          Usia Monika delapan belas tahun dan ia menjalin asmara dengan Wirawan. Mereka akan menikah.
          Minggu lalu ayah dan ibu Wirawan bertandang ke rumahnya melamar Monik. Meskipun tanggal pernikahan belum ditentukan tetapi mereka sudah harus memberitahu keluarga Wirawan dan mulai mencari tahu segala hal persiapan menikah. Itulah sebabnya hai ini mereka ke kampung seberang (Gampiran: 74-75).
            Dikisahkan dalam Gampiran ini bahwa Monik adalah seorang gadis pemberani dan ia siap mengalah untuk kepentingan kakaknya, Munita dalam beberapa hal termasuk ketika Munita malnutrisi dan merasuki tubuhnya. Karena Monik dan Munita dulu pernah serahim, maka terjadilah ikatan batin yang kuat antara gampiran itu. Monik bahkan bisa melihat dan merasakan apa yang Munita rasakan di bawah air sana. Ia juga terluka dan mengorbankan dirinya demi keselamatan Buyan ketika Buyan ditangkap oleh Tua Mor. Ia kemudian tewas dalam pergulatan.
          “Sebenarnya sedari kecil aku sudah tahu bahwa ada seseorang yang mirip dengan aku tetapi hidupnya di dunia lain. Meskipun ibu tak pernah cerita tapi aku tahu semua. Ingatlah bahwa kita kembar, kita dari rahim yang sama, apalagi kita diciptakan sebagai makhluk yang unik. Jika kakak bisa hidup di dalam air, akupun bisa mengetahui apa saja yang terjadi pada kakak. Aku bisa melihat apa saja yang ada di kedalaman sungai,” ujarnya mengejutkanku (Gampiran: 176).
            “Setelah dingin sampai pergelangan tangan dan telinga, segalanya menjadi gelap, itulah saat kakak merasukiku. Aku biarkan kakak bermain dengan jasadku. Meskipun badanku letih dan terasa lemas, tetapi demi saudaraku aku tidak keberatan. Pada pernikahanku pun aku tahu rencana kakak dan aku merelakannya juga. Sayang rupanya Tua Mor menghalangi kita, ia telah mengetahui kedatanganmu, Kak. Aku dan ibu tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi sekarang ibu terpaksa menikah dengan Tua Mor karea ibu diancam,” (Gampiran: 178).
            Adikku, saudara kembarku, manusia yang aku kenal sesaat, ternyata hatimu mulia dan indah, semulia parasmu. Bagaimana ia dengan ikhlas membiarkan tubuhnya kurasuki, meski ia merasakan sakit? (Gampiran: 187).
            Sekali lagi Monik berteriak agar Buyan melarikan diri dan tidak mempedulikannya. Terlambat, Tua Mor datang. Ia marah melihat ikatan Buyan terlepas. Serta merta ia memerintahkan penjaga-penjaga lain untuk menombaki Buyan. Buyan dikeroyok. Kekasihku tersudut. Monik mencoba sekali lagi menolongnya. Ia berada di tengah-tengah pergulatan itu. Entah tombak siapa yang mengenainya, Monik terluka (Gampiran: 188)                             
c.    Ibu
          Inni Indarpuri melukiskan tokoh ini sebagai orang yang tak tak serta merta membuang apa yang ia buang, dalam hal ini Munita (buaya yang keluar dari rahimnya). Ia tetap memperhatikan Munita. Ini terbukti ia rutin memberi nutrisi kepada Munita setiap purnama meskipun ada kalanya juga ia lupa mengirimi nutrisi ini karena beberapa hal. Salah satunya karena keberadaan Tua Mor yang mendadak menjadi suaminya karena ia diancam jika tak menikah dengan Tua Mor, ibu akan kehilangan salah satu dari anaknya; Monika, atau Munita. Kehadiran Tua Mor pula yang menghalangi hypnosis Munita dengan sang ibu. Simaklah kutipan-kutipan berikut tentang penggambaran watak Ibu.
          Namun satu hal yang patut aku syukuri, meski ibu membuangku ia tetaplah sayang padaku. Ini terbukti ia tak pernah lupa memberiku makan, nutrisi yang dihantarkan ibu di setiap bulan purnama. Hantaran ibu dalam suatu ritual yang dinamakan bebebuang (member makan buaya secara gaib dengan melarutkan/melarungkan makanan berupa ketan kuning dan perlengkapannya ke sungai),selayaknya memberi makan melalui sesajen. Hanya saja pada ritual ini Ibu melarungkannya ke aliran sungai yang berada tepat di belakang rumah. Arusnya akan mengantarkan makanan itu kepadaku secara gaib. Makanan kesukaanku berupa ketan berwarna kuning yang sudah ditanak, merupakan hasil pencampuran kunyit. Ibu juga menyertakan telur ayam kampong, untaian melati, dan sesisir pisang ambon (Gampiran: 22-23).
          Lihat pula kutipan dialog berikut:
          “Jika ibu tak menikah dengannya ia akan mengambil salah satu dari kita. Selain itu ibu juga tidak boleh memberimu nutrisi lagi” (Gampiran: 178).
            Ketika Munita dalam wujud buaya terperangkap dalam jeratan Tua Mor, dan ketika terjadi pengalih perhatian oleh Buyan dari kampung sebelah dan orang-orang ramai pergi ke kampung sebelah, ibulah yang membebaskan Munita. Ia tak ingin salah satu atau kedua anaknya tersakiti. Ia sangat menyayangi anak-anaknya, dalam wujud apapun.
          Orang-orang yang tadinya mengerubungiku segera memindahkan konsentrasi. Serentak mereka bergerak ke arah yang ditunjuk si pembawa suara tadi. Mereka sudah tak mempedulikan aku kecuali satu orang yang sengaja tidak mengikuti rombongan itu, dan berjalan tergesa-gesa mendekatiku. Ia keluarkan pisau besar dari dalam tapih yang dikenakannya. Cepat-cepat ia merobek tali yang mengikat moncongku. Kemudian ia robek lagi tali yang lainnya. Ia tak berbicara satu katapun, yang kusaksikan hanya air mata yang menganak di ujung matanya, entah apa yang ada di hatinya.
            “Pulanglah, Nak. Maafkan Ibu. Ibu sudah menikah dengan Tua Mor, tentu ada alasan mengapa ibu mau menikah dengannya. Sekarang ibu sudah tak bisa mengirimimu nutrisi, ia menghalangi ibu. Namun ibu berjanji diam-diam akan mengirimimu lagi. Kita akan cari jalan keluarnya” (Gampiran: 160-161)
d.    Buyan
          Buyan adalah tokoh sentral yang sangat erat kaitannya dengan hidup Munita. Secara, Buyan adalah sesama penghuni kedalaman sungai, sama seperti halnya Munita, tetapi ia telah tinggal lebih dulu di sana. Ia punya panggilan khusus dari Munita. Akki penggilannya, dan Buyan balik memanggil Munita dengan panggilan Nini.
          Ia juga buaya kuning (gampiran), namun dalam novel ini tidak diketahui siapa gampiran manusianya.
          “Sebenarnya sempat aku mencoba merasuk di tubuh saudara kembarku, hanya saja beberapa menit aku bertahan, seseorang telah menambainya” ujarny (Gampiran: 106)
          Ia terbilang cukup kuat untuk ukuran dewasanya. Ia memiliki rahang yang sangat kuat, kokok, ditunjang gigi-gigi runcing dan tajam, amat berguna untuk memangsa mangsanya. Ia pernah menyelamatkan nyawa Munita ketika Munita dihadang oleh seekor piranha. Inilah yang Munita kagumi dari seorang Buyan. Munita berkesimpulan, Buyan dapat diandalkan dalam kondisi apapun.
          Semenjak itu, kulihat ia selalu mengasah taringnya dan memperkuat gerakan ekornya. Ia meyaknkan bahwa dia bisa kuandalkan dalam kondisi apapun (Gampiran: 48).
            Layaknya Munita, ternyata Buyan juga merasakan jatuh cinta, tatapi tidak kepada Munita. Adalah seekor buaya putih bernama Seduyong dari Serawak yang telah menyita perhatian hati dan pikirannya.
            “Karena Akki ingin dekat dengannya, Akki rindu padanya. Akki jatuh cinta padanya. Akki ingin menjadikannya ibu dari anak-anak Akki” (Gampiran: 134)
          Namun seiring perjalanan waktu dan beberapa konflik, Buyan akhirnya tahu bahwa Seduyong yang ia puja karena cantik, lembut dan pandai itu hanyalah sebagai umpan Tua Mor untuk memancing Buyan keluar dan dengan begitu mudah bagi Tua Mor membunuhnya. Dalam kepergian nekat Munita ke kampung Sangta yang berujung penangkapan dirinya oleh sang pawang, Buyan kembali hadir sebagai ksatria pengecoh perhatian sehingga Munita bisa terselamatkan. Sesungguhnya sudah lama ia mencintai Munita, tetapi tak menyadarinya. Ia terlanjur terpedaya oleh kehadiran Seduyong.
          “Akki telah mengalihkan konsentrasi orang-orang, dengan berburu seorang anak,a…ku tak pernah menduganya.” Aku lemas. Mengapa aku tak segara menyadarinya, mengapa aku tak berpikir Buyan yang datang menolongku. Ya, bukankah ia kakakku? Ia yang paling dekat denganku selama ini. Tentu ia tak akan tinggal diam jika sesuatu menimpaku (Gampiran: 164).
          “Tapi Buyan telah menyadari kekeliruannya. Ia sangat merasa kehilangan ketika kembali ke goa dan tak menemukan dirimu pulang. Ia rupanya mencintaimu sudah sejak lama, tapi ia tak menyadarinya, dan perasaan itu kian jauh saat digoda oleh Seduyong” (Gampiran: 166).
            Pernah pula sekali waktu Buyan sakaw tanpa diketahui Munita. Ia seorang pribadi yang tertutup dalam urusan kiriman nutrisi ibunya. Ketika itu telah tiga purnama ia tak mendapat kiriman nutrisi dan ia menjadi tak terkendali. Kwangkang yang susah payah dibersihkan Munita ia hancurkan, bahkan ketika Munita berusaha menyadarkannya Buyan tak juga memperhatikan. Ia terlanjur sakaw. Ia bahkan menjadi liar dan terpaksa memakan manusia, dan ia merasa bersalah karenanya!
          “Terpaksa aku melakukannya. Hanya itu yang dapat menenangkan emosiku, memakan protein dan karbohidrat manusia,” ujar Buyan penuh rasa bersalah. Ada genangan air mata yang tersisa disudut matanya. Warna bola matanya yang sebelumnya merah membara  sekarang hitam meredup (Gampiran: 101).
            Namun dalam akhir cerita Gampiran ini, Buyan mati dalam usahanya melindungi Wirawan yang memeluk Monika. Sebuah kisah yang menyentuh, seorang ksatria mati untuk melindungi orang yang telah membantunya sekaligus kembaran Munita. Kematian Buyan membuat luka yang dalam bagi Munita. Tapi begitulah Inni mengajak pembaca menekuri kuasa takdir dan nasib melalui perjalanan hidup Buyan.
          Bagiku, kekasihku Buyan adalah pahlawan. Begitu pula adikku tercinta, Monika. Mereka mengakhiri hidupnya demi aku dan Wirawan (Gampiran: 190).
e.    Paman Riu
          Tokoh satu ini dirasa tokoh paling bersahaja dalam Gampiran. Ia digambarkan sebagai seekor naga yang masih dalam masa semedi dan tinggal bersama Munita dan Buyan di goa kedalaman air. Dan Inni mengangkat cerita yang biasa beredar di kalangan masyarakat Kutai bahwa kemunculan naga biasanya pertanda akan terjadi bencana alam.
          Berbeda dengan jenis kami berdua ada makhluk lain yang keberadaannya melebihi kerabat dekat kami, ia lebih dari sekedar orang tua bagi kami. Aku dan Buyan memanggilnya Paman Riu. Jika dirunut, Paman Riulah yang pertama kali menemukan goa ini lalu berbagi kediamannya bersama kami. Paman jenis hewan yang paling bijaksana di ala mini. Ia memerlukan waktu ribuan tahun bermoksa (Sanskerta: moksa, adalah sebuah konsep Hindu dan Budha. Artinya ialah kelepasan atau kebebasan dari ikatan duniawi) menjadi seekor naga dengan terlebih dahulu mengalami banyak latihan spiritual (Gampiran: 42).
            Sebagaimana yang pernah diceritakan paman, ia tidak sendirian. Ia bersama keenam naga lainnya adalah peliharaan Sultan Kutai pertama. Mereka disebar ke beberapa tempat, ke tujuh penjuru. Sekali waktu pada daerah kekuasaan mereka akan terjadi bencana alam, maka salah satu dari mereka keluar dari pertapaan memunculkan diri. Itulah sebabnya kemunculan naga biasanya diidentikkan dengan pertanda aka nada bencana alam (Gampiran: 44-45).
            Paman Riu dihadirkan oleh Inni sebagai sosok mediator dan penjernih keadaan akibat kesalahpahaman antara Munita dan Buyan yang mulai muncul di tiga perempat novel ini. Ya, terhitung sejak Buyan bertemu dengan Seduyong. Paman Riu juga sebenarnya tahu banyak hal yang tak diketahui Buyan ataupun Munita, seperti tentang siapa sesungguhnya Seduyong itu.
          “Seduyong itu dalam kekuasaan Tua Mor. Ia ahli menghipnotis buaya. Seduyong salah satu kekuasaannya. Ia ditugaskan memancing Buyan agar jatuh cinta padanya, agar kalian terpisah. Ia ingin Buyan keluar dari alam bawah sungai mencari Seduyong. Dan ibumu dipaksa untuk untuk tidak mengantar nutrisimu. Dalam keadaan cemburu dan malnutrisi kamu pasti akan ke kampong Sangta dan ia sudah siap dengan perangkapnya di sana” (Gampiran: 165).
f.     Tua Mor
          Tua Mor adalah seorang pawang sekaligus bekerja sebagai kaki tangan Tuan Hisyam. Sebagai pawang, ia cukup dikenal dan kuasanya terhadap jampi-jampi sangat kuat. Jampi-jampinya sempat mengenai Buyan dan ketika itulah kali pertama Buyan tertangkap meskipun akhirnya berhasil meloloskan diri setelah sempat mencederai paha Tua Mor dengan gigitan taringnya.
          “Beberapa jam setelah peristiwa itu, tanpa kusadari seseorang telah mengirimkan pawang buaya untuk menangkapku.aku tak pernah memperhitungkan kekuatannya. Kupikir ia seperti dukun lain yang menyiapkan kembang tujuh rupa untuk menangkapku. Sehingga banyak waktu buatku untuk membuat perhitungan, tetapi tidak. Ia hanya duduk membongkok di tepi sungai, lalu menepuk air sungai tiga kali berturut-turut sambil membaca jampi-jampi: “Jum kali jum. Ucapku adalah ucap Sulaiman. Terkunci gerakmu mendengar kataku,” jampi-jampinya bekerja. “Lalu ia bisa berbicara dneganku, seperti ibu yang tengah ber-hypnosis denganku. Ia berjanji akan memberiku makanan yang lebih ezat, lebih enak dari anak yang telah kutelan tadi. Temannya yang lain tergopoh membawakan kulit kambing untuk memancingku keluar. Kulit kambing sebanyak tiga kilo untuk umpan diikat pada mata pancing dari besi yang dibengkokkan. Kemudian, dari mata kail diikat ke kawat lalu disambungkan ke tali plastic yang akan digunakan untuk emngikat moncongku. Entah kenapa aku menurut saja. Air sungai bergelora, daun-daun pohon nipah bergerak-gerak. Setelah tenang, aku muncul ke permukaan” (Gampiran: 109).
            Tua Mor juga sempat menikahi ibu Munita karena ada misi yang dia emban. Misi melenyapkan gampiran. Kisah hidup Tua Mor berakhir tragis. Ia mati dibunuh oleh Buyan dalam pergulatan pembebasan dirinya. Kepalanya diterkam oleh Buyan yang bergigi taring tajam dan tiada tandingan. Kekuatan dan kekuasaan Tua Mor hilang sudah.
g.    Tuan Hisyam
          Ini adalah tokoh sentral yang tak banyak berperan dalam cerita. Ia adalah orang di balik layar yang mengembangkan usahanya dalam tambang. Ia sangat kaya tetapi takut pada buaya. Ia ibarat peniru ulung Genghis Khan yang tersohor kejam pada masanya itu. Ialah orang yang menyuruh Tua Mor melenyapkan buaya di bawah sungai setelah diberitahu Tua Mor bahwa itu akan menjadi kendala pelebaran perusahaannya. Ia juga sangat membenci Wirawan dan sepak terjangnya menghimpun massa berunjuk rasa karena katanya pabriknya membuat udara lingkungan kotor.
          Ia adalah pembunuh berdarah dingin. Ia seorang pengecut yang hanya berani menarik pelatuk pistol lalu melarikan diri dari pertempuran antara manusia dengan buaya.
          Penembaknya lari tunggang langgang menaiki helikopter yang sudah disipakan. Ia tak menyangka buaya yang sudah mati bisa bergerak secepat kilat melindungi sasarannya. Pemandnagan di depan mata menambah rasa paranoidnya. Bisa saja buaya yang lain melakukan hal yang sama padanya. Ia bisa mati terpenggal seperti halnya Tua Mo.
            Sudah cukup baginya untuk mengakhiri petualangannya di bumi Sangtana. Ia tak hendak kembali lagi ke Sangtana dan mengubur semua impiannya (Gampiran: 189-190).
h.    Seduyong
          Ia seekor buaya putih yang tak memiliki ekor (Munita menyebutnya buntung). Ia cantik dan hatinya lembut. Dikisahkan di bagian lain bahwa Seduyong adalah turunan dari Bujang Senang yang sangat melegenda di Serawak. Ia buaya yang tinggal di sungai Batang Lupar di Sri Aman, Serawak, Malaysia. Bujang Senang merupakan seekor buaya yang terkenal karena keganasannya. Kisah kekejamannya terekam di tahun 1941, karena pada tahun ini banyak penduduk Serawak yang menjadi korban kekejamannya. Karena kekejaman keluarganya, maka sampai keturunan-keturunan buaya berikutnya terus diburu untuk dibunuh. Menurut Buyan, Seduyong datang ke goa mereka untuk meminta pertolongan Buyan. Ia ikut bersembunyi ke goa jika suatu saat ia diburu oleh pawng Serawak. Ia berjanji akan datang menemui Buyan lagi, dan karena ia tak kunjung datang, Buyan menjadi merindu sementara Munita makin cemburu.
          Namun belakangan baru diketahui bahwa ia adalah alat bagi Tua Mor memancing Buyan keluar dari persembunyian bawah sungainya sehingga Tua Mor lebih mudah menyelesaikan misi membunuh buaya seperti titah Tuan Hisyam.
          “Seduyong itu dalam kekuasaan Tua Mor. Ia ahli menghipnotis buaya. Seduyong salah satu kekuasaannya. Ia ditugaskan memancing Buyan agar jatuh cinta padanya, agar kalian terpisah. Ia ingin Buyan keluar dari alam bawah sungai mencari Seduyong. Dan ibumu dipaksa untuk untuk tidak mengantar nutrisimu. Dalam keadaan cemburu dan malnutrisi kamu pasti akan ke kampung Sangta dan ia sudah siap dengan perangkapnya di sana” (Gampiran: 165).         
i.     Wirawan
          Panggilannya Awan. Ia seorang pemuda yang tampan dan berjiwa kstaria. Ia kekasih Monika yang bekerja sebagai guru honorer Sekolah Dasar di Sangtana. Ia punya sikap menerima dan mau terbuka, mau mendengarkan apa yang diceritakan orang lain, dan mau menghargai itu. Ketika Monika terbuka soal ia punya gampiran buaya di bawah sungai, Awan sempat terkejut tetapi ia bisa menerima keadaan itu.
          “Kakak bisa menerimanya?” ulang Monik dengan kalimat yang berbeda.
            “Monik tetap manusia, kembarannya saja buaya. Bukankah begitu?” Awan mengulangi (Gampiran: 78)
          Monika kemudian mengatakan jika Munita tak diterima Buyan, ia ingin Awan mengambil pula Munita (gampirannya) sebagai istri, Awan sempat gamang, berpikir bahwa usul itu cukup aneh. Tetapi lantaran ia tak mau banyak berdebat dengan calon istrinya ia akhirnya menyetujui usul gila itu. Toh, tak ada yang tahu bagaimana hidup selanjutnya dan ia juga tak terlalu yakin bahwa apa yang dikatakan Monika itu akan terbukti di kemudian hari. Mereka akhirnya menikah.
          Wirawan pula orang yang memelopori unjuk rasa pencemaran udara di Sangtana. Ia tampil dan Tuan Hisyam menjadi ketar ketir. Dalam kisah selanjutnya, setelah pertempuran sengit saling melindungi ketika Monik menepati janjinya untuk membantu membebaskan Buyan, tak ada yang menyangka bahwa ia akhirnya menjadi suami Munita (Munita sudah bisa mengenal kehidupan manusia seutuhnya). Sesuatu mengharuskan mereka melanjutkan hidup.
j.     Dukun Beah
          Kehadirannya di dalam novel ini hanya sebagai pendukung cerita. Ia bukan tokoh sentral yang sangat penting tetapi cukup menolong pembaca menikmati awal kisah kelahiran Munita dan adiknya. Ia dukun beranak yang membantu persalinan Ibu Monika dan Munita. Ialah saksi hidup kelahiran gampiran itu. Ia pula yang memberi usul untuk membuang bayi buaya gampiran ke sungai belakang rumah dan ia berjanji pada ibu untuk tak menjaga rahasia kelahiran gampiran itu.
          “Begini saja, mumpung suamimu belum datang, kita buang saja gampiran ini ke sungai belakang rumah. Bukankah itu habitat yang tepat baginya? Kediamannya harusnya di sungai, kamu tinggal member makan saja. Rahasia kelahirannya ini hanya kita berdua saja yang tahu. aku berjanji tak akan memberitahu aib ini kepada siapapun,” ujarnya member usul. Entah kenapa ibu yang sudah tak bisa berpikir jernih langsung menyetujui. Mereka berdua segera menuju sungai yang terleak di belakang rumah kami (Gampiran: 21).

D.   PENUTUP
         Secara umum novel ini menggelitik bahwa ternyata dalam sebagian lokalitas masyarakat Banjar dan Kutai yang perlu diketahui masyarakat luas. Novel fiksi yang sarat akan wawasan kearifan lokal ini hendaknya bisa juga menjadi sebuah protes kecil terhadap kesewenangan eksploitasi tambang batu bara di banyak daerah Kalimantan Timur. Recommended!


Hesti Kustrini ©Copyright2012

No comments:

Post a Comment