Nama : Hesti Kustrini
NIM : 0905075025
Kelas : Reguler A
Mata Kuliah : Kritik Sastra
ANALISIS INTRINSIK NOVEL INNI INDARPURI
GAMPIRAN: TAKDIR MUNITA
(Dibuat sebagai tugas akhir mata kuliah Kritik
Sastra Program Studi Pendidkan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Universitas
Mulawarman tahun ajaran 2011-2012)
Judul novel : Gampiran: Takdir Munita
Penerbit : Kalika, Yogyakarta
Tahun terbit : 2012
Dimensi buku : 208 halaman; 12 x 19 cm
Harga : Rp 27.500,-
A perfect judge will read each work of wit
With the same spirit that its authir writ
-Alexander Pope
Essay
on Critism II
A. Inni Indarpuri dan Gampiran
Inni Indarpuri adalah
seorang novelis perempuan Kaltim. Ia menulis Gampiran sebagai novel keduanya
setelah ia menyelesaikan buku pertama dwilogi Di Antara Dua Cinta. Kedua
novelnya sarat akan nuansa lokal dan pesan moral terkait lingkungan hidup.
Inni menulis Gampiran
karena gampiran merupakan suatu lokalitas budaya yang ada di sebagian
masyarakat Kutai dan Banjar yang mengakui keberadaan gampiran. Dalam
keluarganya pun ada tradisi bebebuang,
yakni sebuah ritual jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit dan tak
kunjung sembuh. Jalannya ritual adalah dengan melarungkan ketan dan
seperangkatnya ke sungai kemudian air sungai itu diambil untuk disapukan ke
sekujur tubuh. Untuk perihal kesurupan gampiran buaya pun masih ada sampai
sekarang, karenanya biasanya sebelum diadakan acara perkawinan, mereka yang
mempercayai gampiran ini akan bebebuang
dahulu. Sekarang, perangkat bebebuang berkembang dengan bukan hanya ketan
tetapi juga Al Fatihah sebagai sedekah atau hadiah untuk gampiran.
Inni Indarpuri gemar
menulis sejak ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Ia membuat
majalah-majalahan berjudul Indrapuri
yang isinya berupa cerita-cerita dan ia jilid sendiri lalu dibaca oleh
teman-temannya. Ketika SMP, ia terinspirasi membuat novel ala 5 Sekawan dengan versi yang berbeda. Saat
SMA dan kuliah ia mengirimkan cerpennya ke Manuntung
(sekarang Kaltim Post) dan itu
membuatnya bangga sebab ketika itu ia mendapat honor yang lumayan sekaligus
dengan begitu ia bisa menghadiahi kawan-kawannya dengan dimuatnya cerpen itu
(dengan cara mencantumkan nama kepada siapa cerpen itu dibuat).
Gampiran, bahkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tak ditemukan arti kata itu. Gampiran dalam
konteksnya berarti kembar antara manusia dengan buaya. Artinya bukan mereka
merekat, saling berdempet, atau menempel secara fisik, melainkan begampiran
adalah persatuan atau perpaduan secara rohani antara dua roh yang berbeda; roh
manusia yang hidup di alam nyata (dunia) sementara roh buaya yang hidup di alam
gaib dalam hal ini digambarkan di kedalaman sungai (Gampiran: 9).
Korrie Layun Rampan yang
memberikan endorsement novel ini
mengatakan, dalam Sastra Nusantara atau Sastra Indo Belanda, dicantumkan nama
Louis Couperus (1863-1923) yang menulis novel De Stille Kracht yang di dalam Bahasa Indonesia menjadi Alam Gaib
atau Kekuatan Diam. Di dalam novel yang ditulis pada zaman penjajahan Belanda
di Pasuruan, Jawa Timur ini memperlihatkan sekian banyak kejadian ajaib yang
berhubungan dengan hal-hal magis dan kekuatan supranatural. Novel ini berbicara
tentang kekuasaan dan keinginan bahagia tokoh-tokohnya, namun nasib dan takdir
membawa mereka pada kenyataan lain dari hidup yang sebenarnya. Dalam Gampiran
hal-hal demikian tersua bagus lewat narasi dan dramatisasi peristiwa (Gampiran:
202).
Gampiran
menunjukkan kearifan lokal yang dalam. Dalam novel ini diceritakan bahwa dahulu
ada namanya Perjanjian Hulu dan Hilir, yakni perjanjian territorial yang dibuat
berdasarkan konsensus antara manusia dengan buaya setelah pernah terjadi
perselisihan di antara keduanya. Selama beberapa kurun waktu kedua jenis
makhluk ini saling menjaga perjanjian mereka, hingga suatu ketika perjanjian
itu dilanggar oleh kalangan mereka sendiri.
Gampiran
membuat pembacanya cukup untuk merenungkan apakah ia sebagai manusia juga
memiliki gampiran (kembaran), dan jika benar, apakah itu terjadi pada setiap
diri manusia atau untuk orang-orang tertentu saja? Selesai membaca novel ini
bulu kuduk pembaca meremang, membayangkan gampiran.
B.
SINOPSIS
Novel ini diawali dengan kisah kesurupannya
Monika. Kisah kelahiran Monika di kampung Sangta adalah kunci untuk mengetahui
apa yang merasuki tubuh Monika. Delapan belas tahun lalu Monika lahir bersama
gampirannya dalam wujud buaya (Munita). Namun karena keduanya berbeda jenis dan
tentu saja berbeda habitatnya, maka atas saran Dukun Beah, ibu melahirkan itu
terpaksa membuang anak buayanya ke sungai belakang rumah atas alasan agar
orang-orang tak tahu bahwa ia telah melahirkan anak gampiran. Sebagai janjinya,
setiap purnama ibu itu akan mengirim nutrisi (sebutan makanan gampiran) dari
sungai belakang rumahnya. Monik dirasuki Munita sebagai bentuk protes Munita
kepada ibunya yang telat memberinya nutrisi pada suatu purnama.
Munita bayi yang ketika itu dihanyutkan
ke sungai oleh ibunya sendiri akhirnya di bawa oleh Buyan, seekor buaya kuning
jantan ke goa tempat ia tinggal bersama Paman Riu, makhluk bijaksana yang
sedang bersemedi untuk menjadi naga yang kuat.
Dalam usia dua makhluk satu gampiran
itu, mereka punya cerita asmara. Monik telah menjalin kasih dengan seorang guru
honorer di Sangtana bernama Wirawan. Sementara Munita di bawah kedalaman sungai
sana diam-diam mengagumi Buyan yang perkasa. Namun kemudian muncul masalah,
Seduyong, seekor buaya putih dari Serawak telah mencuri perhatian Buyan, dan
Munita merasa cemburu akibat cintanya dirasa bertepuk sebelah tangan.
Kehadiran Seduyong rupanya ada kaitannya
dengan Tuan Hisyam, seorang pemilik dan komisaris utama PT. Raksasa Sangtana,
kontraktor pelaksana penambangan batu bara di Sangtana. Ia mempunyai kaki
tangan setia bernama Tua Mor yang kebetulan adalah seorang pawang buaya handal.
Posisinya dan posisi perusahaannya sedang dalam keadaan terancam karena konon akan
ada unjuk rasa besar-besaran di lokasi tambang menolak eksploitasi tambang yang
dipimpin oleh seorang pemuda bernama Wirawan yang tak lain adalah kekasih
Monik.
Tuan Hisyam kemudian memerintahkan Tua
Mor untuk mencari segala informasi tentang Wirawan, dan ia tak percaya atas
laporan yang ia dapatkan dari Tua Mor bahwa di kedalaman sungai sana ada
gampiran buaya, dan ini membuat murkanya semakin menjadi karena ia sangat benci
hewan reptil itu.
Rupanya, Seduyong juga ikut andil dalam
persekutuan itu. Ia diperalat Tua Mor untuk memperdaya Buyan, dan dengan begitu
ia dapat dengan mudah memusnahkan buaya itu. Paman Riu menjelaskan ini kepada
Munita setelah Munita nyaris tertangkap oleh Tua ketika ia nekat ke Sangta.
Ketika itu Munita tidak mendapati Buyan di goa. Kata Paman Riu ia pergi ke
Serawak untuk melihat keadaan Seduyong. Munita kemudian marah dan memutuskan
untuk pergi ke kampung. Sebenarnya hal ini dulu sempat dilarang oleh Buyan
karena dulu ia hampir tertangkap oleh seorang pawang yang berbeda dengan pawang
biasanya, namun dengan ketangkasannya ia bisa lolos dari perangkap itu. Pada
dasarnya Buyan sangat menyayangi Munita dan tak ingin Munita terluka apalagi
sampai tertangkap oleh pawang yang dulu menangkapnya. Buyan merasa pawang yang
menangkapnya terlalu hebat.
Tetapi karena terlanjur kecewa dan ia
telah cemburu buta, Munita nekat pergi ke kampung halamannya juga karena
lantaran ia telah beberapa purnama tak pernah lagi dikirimi nutrisi oleh
ibunya. Munita mengambil keputusan untuk beujud
menjadi manusia. Ia terkejut ketika di kampung dilihatnya Monik, adiknya itu
akan melaksanakan upacara pernikahan dengan Wirawan. Ia kian marah kenapa ia
tak diberitahu sebelumnya. Ia merasuki Monik untuk kedua kalinya. Namun dari
sanalah ia akhirnya tertangkap oleh Tua Mor.
Dalam kepungan manusia, Munita merasa
hatinya sedih, ia ingin setidaknya Ibunya menyelamatkannya dari ikatan-ikatan.
Ketika itu Buyan muncul sebagai ksatria menyelamatkan Munita dengan cara
mengalihkan perhatian Tua Mor dan warga lain dari kampung sebelah, memangsa
manusia. Ketika orang-orang berlarian ke kampung sebelah itulah ibunya kemudian
memutuskan ikatan dari tubuh Munita sambil meminta maaf karena tak bisa berbuat
banyak termasuk mengirimi nutrisi sebab geraknya dibatasi oleh Tua Mor, sang
pawang buaya. Munita menjadi tahu kebenarannya, bahwa pawang yang dulu nyaris
membunuhnya dan Buyan adalah pawang yang sama, Tua Mor.
Buyan akhirnya ditangkap, dan Monik
berjanji pada Munita untuk membantu membebaskan Buyan. Ketika itu unjuk rasa menentang
eksploitasi tambang masih berlangsung di Sangtana, dan Monik berusaha
membebaskan Buyan dari penjagaan penjaga. Ketika telah bebas, Monik menyuruh
Buyan untuk lari tetapi Buyan tak memperhatikan. Buyan justru mengamuk dengan
mengibaskan ekornya ke arah penjaga, satu per satu mereka tumbang. Ketika
itulah Tua Mor datang dan menyuruh penjaga lainnya menombaki Buyan. Pergulatan
terjadi. Monik dan Buyan tersudut. Mengetahui istrinya diserbu, Wirawan datang
dari Puskesmas (dalam unjuk rasa sebelumnya ia tertembak oleh Tua Mor dan
dirawat di Puskesmas) melindungi Monik dan Buyan, kekasih idaman saudara
gampiran istrinya. Buyan yang merasa telah dibantu tak tinggal diam. Ia
menyambar kepala Tua Mor sampai Tua Mor tewas.
Lalu muncul seorang yang menaruh dendam
kesumat pada Wirawan dan mengarahkan pistolnya ke arah Wirawan. Ia adalah Tuan
Hisyam. Buyan yang dikira sudah mati karena tusukan tombak yang mengoyak
perutnya beraksi, berusaha melindungi pelindungnya, Wirawan dan Monik yang
ketika itu bersimbah darah terkena tombak. Peluru mengenai tubuhnya
berkali-kali hingga Buyan benar-benar tumbang. Setelah itu Tuan Hisyam
melarikan diri sebagai pengecut dengan helikopternya.
Buyan dan Monik akhirnya meninggal
bersama jiwanya yang heroik. Munita lalu menyadari beberapa hal bahwa selama
ini Monik tahu apa yang dikerjakan dan dilakukannya dimana pun berada bahkan
ketika ia cemburu pada Seduyong dan ia dihibur-hibur oleh Paman Riu yang
bijaksana. Monik bahkan rela dan ikhlas tubuhnya dirasukinya. Ia juga akhirnya
tahu bahwa sebenarnya Buyan mencintainya sejak dulu tetapi hanya belum
menyadari itu, kata paman Riu. Ia benar-benar telah kehilangan dua pahlawannya,
dua makhluk yang disayanginya.
Dari seluruh kejadian yang menyentuh
itulah, takdir Munita hadir secara nyata!
C.
MENJELAJAH
INTRINSIK GAMPIRAN
1. Tema
Sebuah karya fiksi, baik itu berupa novel,
roman, cerpen, atau cerbung haruslah mengatakan sesuatu, yakni pendapat
pengarang tentang hidup dan kehidupan sehingga pembaca lebih mudah dalam
memetik manfaat dan memahami hidup dengan lebih baik. Tetapi tema tidak selalu
harus berwujud ajaran moral atau tentang moral. Umumnya, tema hanya berwujud
pengamatan pengarang terhadap kehidupan. Seringkali pengarang hanya
mengungkapkan suatu masalah. Masalah itu dibiarkan sebagai masalah pembaca dan
pembacalah yang berusaha memecahkannya.
Biasanya dalam karya fiksi yang baik, tema
selalu tersamar. Pengarang mengungkapkan tema dalam keseluruhan elemen
ceritanya, apakah dalam dialog, jalan pikiran atau perasaan, kejadian-kejadian,
setting, dan sebagainya. Tema yang
baik adalah yang bersifat universal, tidak bersifat momental atau temporer
(Korrie Layun Rampan dalam Apresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir, 2009:3)
Novel Gampiran karya Inni Indarpuri memiliki
tema yang cukup kompleks. Ia adalah sesuatu yang harus disimpulkan, perpaduan
antara cinta, cemburu, ambisi kekuasaan, dan politik serta sedikit bumbu
mistis. Agak sukar menyimpulkannya, dan karenanya silakan membaca dan
menyimpulkan tema Gampiran ini sampai tuntas.
2.
Plot
Putu Arya Tirtawirya (dalam Apresiasi Puisi dan Prosa) dengan
mengutip Rene Wellek dan Hudson lewat Boen S. Oemarjati dan pendapatnya bahwa
plot adalah rangkaian kejadian dan perbuatan, rangkaian hal-hal yang yang
diderita dan dikerjakan pelaku-pelakunya (Hudson). Boen S. Oemarjati sendiri
berkesimpulan bahwa plot ialah struktur penyusunan kejadian-kejadian dalam cerita
yang disusun secara logis (Apresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir, 2009: 4)
Inni menyuguhkan plot yang indah dalam Gampiran sehingga
pembaca, seawam apapun tentang gampiran, ia akan tetap dapat mengikuti jalan
cerita karena ditunjang pula oleh bahasa dan hal-hal keseharian seperti cinta,
kecemburuan, dan dendam. Hal-hal inilah yang coba ia salurkan dari balik ruh
tulisannya. Jika ditilik, sangat sedikit dalam Gampiran yang memakai sorot
balik (flash back), sebaliknya alur
dalam Gampiran banyak dibawa maju hingga menemukan sebuah titik akhir yakni
takdir Munita.
3. Setting
Bicara tentang setting, ada banyak hal yang perlu dipahami
bahwa setting tak hanya berkutat pada
latar tempat dan waktu. Ia lebih luas, setidaknya meliputi latar keadaan,
suasana, tempat, dan waktu. Gampiran menempatkan setting-setting itu dalam masing-masing tempatnya dan saling
mendukung. Simaklah kutipan berikut:
Kembali ke habitat di kedalaman muara sungai
dengan perut kenyang setelah menghabiskan sebaskom ketan kuning, membuat
instingku kembali normal. Buyan menyambutku di pintu gerbang. Tergambar jelas
kecemasan di wajahnya. Aku tahu ia sangat khawatir padaku. Sejurus kemudian ia
bersuara lega setelah memerhatikan tubuhku tak kurang satu apapun (Gampiran:
35)
Dari sana nampak beberapa setting
seperti dimana tempatnya, bagaimana suasana ketika tokoh “aku” kembali ke
habitatnya. Jadi dalam sebuah kisah dapat kita ketahui spot setting-nya dengan
hanya memperhatikan apa yang tertuang di dalam induk kalimat dan anak-anak
kalimatnya.
4.
Sudut Pandang
Sudut pandang dalam Gampiran oleh Inni Indarpuri dibuat
sebagai dominan orang pertama yang bercerita. Nampak hampir dalam setiap sub
bab novel ini senantiasa menggunakan kata aku. Dalam hal ini tokoh aku adalah
gampiran (buaya kuning).
Aku mengerling. Lega rasanya. Bagai tetes
embun pertama kalinya jatuh pada musim kemarau panjang, saat mencium harum
karbohidrat dan protein yang baunya sangat menyengat namun nikmat. Asapnya
mengepul bermain di hidungku. Ya, sebentar lagi ritual ini akan kuakhiri dan
aku kembali ke habitatku, di kedalaman sungai (Gampiran Bab I: 18).
Entah sudah berapa kali aku menyaksikan tubuh kekuning-kuningannya
bermandikan cahaya. Aku sudah menyaksikannya beribu-ribu kali sejak aku bayi.
Warna tubuhnya tentu tak jauh berbeda dengan warna tubuhku. Karena kami satu
jenis, dan menurut manusia bumi kami bukan buaya biasa, melainkan buaya kuning
(Gampiran Bab IV: 63).
Tentu
saja aku dan ibu mempunyai bahasa komunikasi yang tidak dimilki orang
kebanyakan. Komunikasi yang khusus dibangun hanya antara aku dan ibu, dengan
bahasa non verbal. Namanya hypnosis.
Biasa kulakukan di saat ibu melaksanakan ritual bebebuang, tetapi jika kondisi
mendesak aku bisa menghubunginya kapan saja. Ya, aku hanya memejamkan mata,
berdiam diri sambil memusatkan pikiranku dengan menembus critical factor, penghalang antara aku dan ibu (Gampiran Bab VIII:
86).
Terkadang
Inni juga membawakan ceritanya dalam sudut pandang orang ketiga seperti dalam
kutipan berikut:
Ia
mengelilingi ruang tamu beberapa kali, kemudian kea rah meja makan dan sesekali
menuju kamar. Entah apa yang ingin ditemukannya. Sejurus kemudian ia memutar
kembali menuju ruang makan, dan berdiam lama di sana. Terdengar suara nafasnya
terengah. Tiada yang tahu pasti apa yang tengah berkecamuk di pikiran Monik,
nama panggilan kecilnya (Gampiran Bab I: 10-11).
5.
Perwatakan
Dalam hal perwatakan, Jakob Sumardjo memberikan perincian
untuk mengidentifikasikan perwatakan, sehingga pengarang bisa menempatkan
tokohnya dengan karakter yang cocok dengan apa yang akan ia tulis. Penggambaran
watak atau karakter itu dapat dilakukan dengan lima hal.
Pertama, melalui perbuatan, tindakan tokoh khususnya sikap
tokoh pada saat kritis. Jakob mengatakan, watak seseorang bisa dicerminkan
dengan jelas dari sikapnya ketika situasi gawat. Ia tidak suka berpura-pura. Ia
akan bertindak spontan sesuai watak aslinya. Dalam hal ini, pengarang hasrulah
bisa menciptakan suatu situasi. Situasi kritis mengharuskan tokoh mengambil
sikap dengan segera.
Kedua, melalui ucapan. Ucapan seorang tokoh segera dapat
dikenali siapa dia.apakah ia seorang pemuda, orang berpendidikan tinggi atau
rendah, kira-kira suku apa, pria atau wanita, orang berbudi halus atau tidak,
orang jahat atau orang baik-baik.
Ketiga, melalui penggambaran fisik tokoh. Seorang pengarang
haruslah dapat mengenalkan tokohnya; misalnya lewat penggambaran bentuk tubuh,
raut wajah, tinggi badan, bentuk pakaian tokoh, dan sebagainya.
Keempat, melalui pikiran tokoh. Pengarang harus dapat
menggambarkan pikiran tokoh yang diciptakannya. Dengan melukiskan pemikiran
itu, pembaca dapat mengerti alasan tindakan yang dilakukan oleh tokoh tersebut
sehingga ada kausalitas sebab akibat yang dipikirkan dan yang dilakukan tokoh.
Kelima, melalui penerangan langsung. Pengarang melukiskan dan
memaparkan langsung watak tokoh (Apresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir: 6).
Bicara panjang lebar mengenai perwatakan, dalam Gampiran ada
beberapa tokoh sentral seperti Aku (Munita, si buaya kuning), Monika, Ibu,
Buyan, Paman Riu, Tua Mor, Tuan Hisyam, Seduyong, dan Wirawan, dan Dukun Beah.
a.
Aku (Munita;gampiran; buaya kuning)
Aku adalah tokoh yang
merasa dibuang dari keluarganya lantaran wujudnya yang berbeda. Sempat ia
merasa sedih karena hal demikian, tetapi memang begitulah layaknya. Habitatnya
bukan di antara manusia, tetapi di kedalalam sungai hingga akhirnya ia ditemukan
Buyan yang pengasih.
Tanpa pelukan, tanpa ciuman, bahkan belum
sempat diadzani seorang ayah aku dibuang di sungai yang terletak di belakang
rumah. Aku larut ditelan kegelapan malam, selimut kain kuning tak mampu menjaga
hangat cinta yang kuperlukan dari seorang ibu. Aku merasa bagai bintang jatuh di
keheningan malam yang gelap tanpa bintang hingga sesuatu menyentuhku….Kasih
sayang Buyan yang menemukanku lalu membawaku ke alam bawah sungai, kediaman
baruku (Gampiran: 21)
Aku juga memiliki kelembutan dan berperasaan hatinya.
Sekali lagi kupandang ibuku yang masih
cantik di usia keempat puluh. Ia mengamatikudengan berdiri di ambang pintu. Ibu
sangat jelita dengan kebaya hijau dipadu kerudung tipis warna sama melingkar di
kepalanya. Kerudung yang sedari tadi ia gunakan untuk mengusap air mata. Maafkan
aku membuatmu menangis ibu, tapi aku merasa dengan pertemuan ini aku lebih
mengenal keluarga kita. Sesuatu yang tidak pernah kurasakan selama delapan
belas tahun ini. Meskipun aku tahu kehadiranku
tak diterima sepenuhnya (Gampiran: 26-27).
Namun di luar kelembutan hatinya, ia pernah marah dan
memberontak. Ini terjadi ketika pernah ibunya telat memberinya nutrisi dan di
lain kondisi ia tak diberitahu kabar pernikahan adiknya, Monik oleh ibunya
sehingga ia protes dengan cara merasuki tubuh Monik, saudara gampiran
manusianya.
Jika saat ini aku terpaksa pulang ke rumah
ibu dan merasuk ke dalam tubuh saudara kembarku karena ibu lupa mengantarkan
nutrisi yang kubutuhkan. Keterlambatan ibu bebebuang sempat membuatku lapar
nutrisi. Setelah delapan belas tahun ia tak pernah alpa bahkan tak pernah
menggeser waktunya, purnama kemarin ia lupa. Jika sampai tiga purnama ibu tak
mengirimiku, aku bisa sakaw (kondisi
lapar nutrisi yang membuat emosi membumbung tinggi, tak bisa terkendali). Tak
bisa kubayangkan jika itu terjadi. Dalam keadaan sakaw aku tak bisa
mengendalikan emosi, membabi buta, dan tak terkendali. Mencari nutrisi ke
kampong halaman adalah hal umum yang bisa dilakukan. Fatalnya hal yang
menjijikkan bisa terjadi. Bisa saja aku menjadi liar lalu mengonsumsi
karbohidrat dan protein yang terbungkus di dalam tubuh manusia! (Gampiran: 23).
Lain daripada itu, Munita juga pernah
merasakan jatuh cinta. Hal ini ia rasakan karena kedekatannya dengan Buyan yang
telah berlangsung lama. Sayangnya, Munita tidak tahu banyak soal jatuh cinta.
Terlebih ia tidak tahu apakah Buyan merasakan hal yang sama dengan Munita.
Aku kian menyukai Akki, semakin tak sabar mengungkpakan
betapa aku memang sangat menyukai Akki. Bukan sebagai adik kakak yang selama
ini terpikirkan olehku. Ah, apakah ini memang wajar, apakah rasa ini memang
ada? Apakah ini juga dirasakan manusia, atau justru karena aku separuh manusia
maka aku mempunyai keinginan untuk dibaui Akki? Namun mengapa Akki tidak pernah
mempunyai rasa seperti yang kurasakan? Ia bahkan tak pernah mengajariku
bagaimana cara membauai pasangannya (Gampiran:71).
Pemberontakan dan sikap gegabah karena cemburu pada
Seduyong membuat ia nekat menuju pernikahan Monik dengan cara beujud yang ukuran berhasil atau gagal
tipis sekali dan beresiko menggadai nyawa.
“Aku tak mau mati sakaw di sini, Paman! Hanya akan membuat siluman buaya itu
menyaksikanku dengan senang. Lebih baik aku mati di kampong halamanku
disaksikan ibuku!” (Gampiran: 139)
Aku harus mengacaukan cermin di depanku ini.
Aku tak mau pernikahan ini benar-benar terjadi. Pernikahan ini harus
digagalkan. Bukankah aku pernah melakukannya. Yah, bagiku tidak sulit bagiku
melakoninya sekali lagi, merasuk ke tubuh Monika! (Gampiran: 146).
Nyatanya inilah yang akhirnya membuatnya tertangkap oleh
sang pawang tersohor, Tua Mor ketika ia merasa dijampi-jampi oleh orang yang
tadi duduk di sebelah ibunya.
Sebelum aku benar-benar terperangkap,
aku harus keluar dari lingkaran ini. Ah
ya, sungai. Aku harus segara menuju sungai. Sebab jika gelisah ini kian
membumbung, aku dapat saja dilumat habis oleh pawing itu. Akkhhh…terlambat, aku
mendengar jampi-jampi itu, ritual sang pawang. Seluruh persendianku tiba-tiba
lumpuh. Aku takluk. Sukmaku terpanggil untuk mengikuti perintahnya (Gampiran:
156).
b.
Monika
Monika adalah saudara gampiran Munita sekaligus adiknya
dalam wujud manusia. Ia dilahirkan lebih dulu dari rahim ibunya, dan karena
konon kepercayaan masyarakat di kampungnya bahwa yang lahir lebih dulu itulah
sang adik.
Senja yang temaram ketika seorang dukun
beranak bermandi keringat berusaha mengeluarkan bayi kembar dari rahim seorang
ibu. Ialah aku dan Monika kembaranku yang akan menghirup udara bumi kala itu.
Monika dulu menyapa dunia ketimbang aku. Di kampungku jika anak kembar keluar
duluan berarti ia adiknya. Konon di dalam rahim, sang kakak biasanya
mempersilakan adiknya keluar lebih dulu, baru kemudian kakaknya menyusul (Gampiran:
17-18).
Usia Monika delapan belas tahun dan ia menjalin asmara
dengan Wirawan. Mereka akan menikah.
Minggu lalu ayah dan ibu Wirawan bertandang ke
rumahnya melamar Monik. Meskipun tanggal pernikahan belum ditentukan tetapi
mereka sudah harus memberitahu keluarga Wirawan dan mulai mencari tahu segala
hal persiapan menikah. Itulah sebabnya hai ini mereka ke kampung seberang
(Gampiran: 74-75).
Dikisahkan dalam Gampiran ini bahwa Monik
adalah seorang gadis pemberani dan ia siap mengalah untuk kepentingan kakaknya,
Munita dalam beberapa hal termasuk ketika Munita malnutrisi dan merasuki
tubuhnya. Karena Monik dan Munita dulu pernah serahim, maka terjadilah ikatan
batin yang kuat antara gampiran itu. Monik bahkan bisa melihat dan merasakan
apa yang Munita rasakan di bawah air sana. Ia juga terluka dan mengorbankan
dirinya demi keselamatan Buyan ketika Buyan ditangkap oleh Tua Mor. Ia kemudian
tewas dalam pergulatan.
“Sebenarnya sedari kecil aku sudah tahu
bahwa ada seseorang yang mirip dengan aku tetapi hidupnya di dunia lain.
Meskipun ibu tak pernah cerita tapi aku tahu semua. Ingatlah bahwa kita kembar,
kita dari rahim yang sama, apalagi kita diciptakan sebagai makhluk yang unik.
Jika kakak bisa hidup di dalam air, akupun bisa mengetahui apa saja yang
terjadi pada kakak. Aku bisa melihat apa saja yang ada di kedalaman sungai,”
ujarnya mengejutkanku (Gampiran: 176).
“Setelah dingin sampai pergelangan tangan dan telinga,
segalanya menjadi gelap, itulah saat kakak merasukiku. Aku biarkan kakak
bermain dengan jasadku. Meskipun badanku letih dan terasa lemas, tetapi demi
saudaraku aku tidak keberatan. Pada pernikahanku pun aku tahu rencana kakak dan
aku merelakannya juga. Sayang rupanya Tua Mor menghalangi kita, ia telah
mengetahui kedatanganmu, Kak. Aku dan ibu tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi
sekarang ibu terpaksa menikah dengan Tua Mor karea ibu diancam,” (Gampiran:
178).
Adikku, saudara kembarku, manusia yang aku kenal sesaat,
ternyata hatimu mulia dan indah, semulia parasmu. Bagaimana ia dengan ikhlas
membiarkan tubuhnya kurasuki, meski ia merasakan sakit? (Gampiran: 187).
Sekali lagi Monik berteriak agar Buyan melarikan diri dan
tidak mempedulikannya. Terlambat, Tua Mor datang. Ia marah melihat ikatan Buyan
terlepas. Serta merta ia memerintahkan penjaga-penjaga lain untuk menombaki
Buyan. Buyan dikeroyok. Kekasihku tersudut. Monik mencoba sekali lagi
menolongnya. Ia berada di tengah-tengah pergulatan itu. Entah tombak siapa yang
mengenainya, Monik terluka (Gampiran: 188)
c.
Ibu
Inni Indarpuri melukiskan tokoh ini sebagai orang yang tak tak
serta merta membuang apa yang ia buang, dalam hal ini Munita (buaya yang keluar
dari rahimnya). Ia tetap memperhatikan Munita. Ini terbukti ia rutin memberi
nutrisi kepada Munita setiap purnama meskipun ada kalanya juga ia lupa
mengirimi nutrisi ini karena beberapa hal. Salah satunya karena keberadaan Tua
Mor yang mendadak menjadi suaminya karena ia diancam jika tak menikah dengan
Tua Mor, ibu akan kehilangan salah satu dari anaknya; Monika, atau Munita.
Kehadiran Tua Mor pula yang menghalangi hypnosis
Munita dengan sang ibu. Simaklah kutipan-kutipan berikut tentang penggambaran
watak Ibu.
Namun satu hal yang patut aku syukuri, meski
ibu membuangku ia tetaplah sayang padaku. Ini terbukti ia tak pernah lupa
memberiku makan, nutrisi yang dihantarkan ibu di setiap bulan purnama. Hantaran
ibu dalam suatu ritual yang dinamakan bebebuang (member makan buaya secara gaib
dengan melarutkan/melarungkan makanan berupa ketan kuning dan perlengkapannya
ke sungai),selayaknya memberi makan melalui sesajen. Hanya saja pada ritual ini
Ibu melarungkannya ke aliran sungai yang berada tepat di belakang rumah.
Arusnya akan mengantarkan makanan itu kepadaku secara gaib. Makanan kesukaanku
berupa ketan berwarna kuning yang sudah ditanak, merupakan hasil pencampuran kunyit.
Ibu juga menyertakan telur ayam kampong, untaian melati, dan sesisir pisang
ambon (Gampiran: 22-23).
Lihat pula kutipan dialog berikut:
“Jika ibu tak menikah dengannya ia akan
mengambil salah satu dari kita. Selain itu ibu juga tidak boleh memberimu
nutrisi lagi” (Gampiran: 178).
Ketika Munita dalam wujud buaya terperangkap
dalam jeratan Tua Mor, dan ketika terjadi pengalih perhatian oleh Buyan dari
kampung sebelah dan orang-orang ramai pergi ke kampung sebelah, ibulah yang
membebaskan Munita. Ia tak ingin salah satu atau kedua anaknya tersakiti. Ia
sangat menyayangi anak-anaknya, dalam wujud apapun.
Orang-orang yang tadinya mengerubungiku
segera memindahkan konsentrasi. Serentak mereka bergerak ke arah yang ditunjuk
si pembawa suara tadi. Mereka sudah tak mempedulikan aku kecuali satu orang
yang sengaja tidak mengikuti rombongan itu, dan berjalan tergesa-gesa
mendekatiku. Ia keluarkan pisau besar dari dalam tapih yang dikenakannya.
Cepat-cepat ia merobek tali yang mengikat moncongku. Kemudian ia robek lagi
tali yang lainnya. Ia tak berbicara satu katapun, yang kusaksikan hanya air
mata yang menganak di ujung matanya, entah apa yang ada di hatinya.
“Pulanglah, Nak. Maafkan Ibu. Ibu sudah menikah dengan
Tua Mor, tentu ada alasan mengapa ibu mau menikah dengannya. Sekarang ibu sudah
tak bisa mengirimimu nutrisi, ia menghalangi ibu. Namun ibu berjanji diam-diam
akan mengirimimu lagi. Kita akan cari jalan keluarnya” (Gampiran: 160-161)
d.
Buyan
Buyan adalah tokoh sentral yang sangat erat kaitannya
dengan hidup Munita. Secara, Buyan adalah sesama penghuni kedalaman sungai,
sama seperti halnya Munita, tetapi ia telah tinggal lebih dulu di sana. Ia
punya panggilan khusus dari Munita. Akki penggilannya, dan Buyan balik
memanggil Munita dengan panggilan Nini.
Ia juga buaya kuning (gampiran), namun dalam novel ini
tidak diketahui siapa gampiran manusianya.
“Sebenarnya sempat aku mencoba merasuk di
tubuh saudara kembarku, hanya saja beberapa menit aku bertahan, seseorang telah
menambainya” ujarny (Gampiran: 106)
Ia terbilang cukup kuat untuk ukuran dewasanya. Ia memiliki
rahang yang sangat kuat, kokok, ditunjang gigi-gigi runcing dan tajam, amat
berguna untuk memangsa mangsanya. Ia pernah menyelamatkan nyawa Munita ketika
Munita dihadang oleh seekor piranha. Inilah yang Munita kagumi dari seorang
Buyan. Munita berkesimpulan, Buyan dapat diandalkan dalam kondisi apapun.
Semenjak itu, kulihat ia selalu mengasah
taringnya dan memperkuat gerakan ekornya. Ia meyaknkan bahwa dia bisa
kuandalkan dalam kondisi apapun (Gampiran: 48).
Layaknya Munita, ternyata Buyan juga
merasakan jatuh cinta, tatapi tidak kepada Munita. Adalah seekor buaya putih
bernama Seduyong dari Serawak yang telah menyita perhatian hati dan pikirannya.
“Karena Akki ingin dekat dengannya, Akki rindu padanya.
Akki jatuh cinta padanya. Akki ingin menjadikannya ibu dari anak-anak Akki”
(Gampiran: 134)
Namun seiring perjalanan waktu dan beberapa konflik, Buyan
akhirnya tahu bahwa Seduyong yang ia puja karena cantik, lembut dan pandai itu
hanyalah sebagai umpan Tua Mor untuk memancing Buyan keluar dan dengan begitu
mudah bagi Tua Mor membunuhnya. Dalam kepergian nekat Munita ke kampung Sangta
yang berujung penangkapan dirinya oleh sang pawang, Buyan kembali hadir sebagai
ksatria pengecoh perhatian sehingga Munita bisa terselamatkan. Sesungguhnya
sudah lama ia mencintai Munita, tetapi tak menyadarinya. Ia terlanjur terpedaya
oleh kehadiran Seduyong.
“Akki telah mengalihkan konsentrasi
orang-orang, dengan berburu seorang anak,a…ku tak pernah menduganya.” Aku
lemas. Mengapa aku tak segara menyadarinya, mengapa aku tak berpikir Buyan yang
datang menolongku. Ya, bukankah ia kakakku? Ia yang paling dekat denganku
selama ini. Tentu ia tak akan tinggal diam jika sesuatu menimpaku (Gampiran:
164).
“Tapi Buyan telah menyadari kekeliruannya.
Ia sangat merasa kehilangan ketika kembali ke goa dan tak menemukan dirimu
pulang. Ia rupanya mencintaimu sudah sejak lama, tapi ia tak menyadarinya, dan
perasaan itu kian jauh saat digoda oleh Seduyong” (Gampiran: 166).
Pernah pula sekali waktu Buyan sakaw tanpa diketahui Munita. Ia seorang
pribadi yang tertutup dalam urusan kiriman nutrisi ibunya. Ketika itu telah
tiga purnama ia tak mendapat kiriman nutrisi dan ia menjadi tak terkendali.
Kwangkang yang susah payah dibersihkan Munita ia hancurkan, bahkan ketika
Munita berusaha menyadarkannya Buyan tak juga memperhatikan. Ia terlanjur sakaw. Ia bahkan menjadi liar dan
terpaksa memakan manusia, dan ia merasa bersalah karenanya!
“Terpaksa aku melakukannya. Hanya itu yang
dapat menenangkan emosiku, memakan protein dan karbohidrat manusia,” ujar Buyan
penuh rasa bersalah. Ada genangan air mata yang tersisa disudut matanya. Warna
bola matanya yang sebelumnya merah membara
sekarang hitam meredup (Gampiran: 101).
Namun dalam akhir cerita Gampiran ini, Buyan
mati dalam usahanya melindungi Wirawan yang memeluk Monika. Sebuah kisah yang
menyentuh, seorang ksatria mati untuk melindungi orang yang telah membantunya
sekaligus kembaran Munita. Kematian Buyan membuat luka yang dalam bagi Munita.
Tapi begitulah Inni mengajak pembaca menekuri kuasa takdir dan nasib melalui
perjalanan hidup Buyan.
Bagiku, kekasihku Buyan adalah pahlawan.
Begitu pula adikku tercinta, Monika. Mereka mengakhiri hidupnya demi aku dan
Wirawan (Gampiran: 190).
e.
Paman Riu
Tokoh satu ini dirasa tokoh paling bersahaja dalam
Gampiran. Ia digambarkan sebagai seekor naga yang masih dalam masa semedi dan
tinggal bersama Munita dan Buyan di goa kedalaman air. Dan Inni mengangkat
cerita yang biasa beredar di kalangan masyarakat Kutai bahwa kemunculan naga
biasanya pertanda akan terjadi bencana alam.
Berbeda dengan jenis kami berdua ada makhluk
lain yang keberadaannya melebihi kerabat dekat kami, ia lebih dari sekedar
orang tua bagi kami. Aku dan Buyan memanggilnya Paman Riu. Jika dirunut, Paman
Riulah yang pertama kali menemukan goa ini lalu berbagi kediamannya bersama
kami. Paman jenis hewan yang paling bijaksana di ala mini. Ia memerlukan waktu
ribuan tahun bermoksa (Sanskerta: moksa, adalah sebuah konsep Hindu dan Budha.
Artinya ialah kelepasan atau kebebasan dari ikatan duniawi) menjadi seekor naga
dengan terlebih dahulu mengalami banyak latihan spiritual (Gampiran: 42).
Sebagaimana yang pernah diceritakan paman, ia tidak
sendirian. Ia bersama keenam naga lainnya adalah peliharaan Sultan Kutai
pertama. Mereka disebar ke beberapa tempat, ke tujuh penjuru. Sekali waktu pada
daerah kekuasaan mereka akan terjadi bencana alam, maka salah satu dari mereka
keluar dari pertapaan memunculkan diri. Itulah sebabnya kemunculan naga
biasanya diidentikkan dengan pertanda aka nada bencana alam (Gampiran: 44-45).
Paman Riu dihadirkan oleh Inni sebagai sosok
mediator dan penjernih keadaan akibat kesalahpahaman antara Munita dan Buyan yang
mulai muncul di tiga perempat novel ini. Ya, terhitung sejak Buyan bertemu
dengan Seduyong. Paman Riu juga sebenarnya tahu banyak hal yang tak diketahui
Buyan ataupun Munita, seperti tentang siapa sesungguhnya Seduyong itu.
“Seduyong itu dalam kekuasaan Tua Mor. Ia
ahli menghipnotis buaya. Seduyong salah satu kekuasaannya. Ia ditugaskan
memancing Buyan agar jatuh cinta padanya, agar kalian terpisah. Ia ingin Buyan
keluar dari alam bawah sungai mencari Seduyong. Dan ibumu dipaksa untuk untuk
tidak mengantar nutrisimu. Dalam keadaan cemburu dan malnutrisi kamu pasti akan
ke kampong Sangta dan ia sudah siap dengan perangkapnya di sana” (Gampiran:
165).
f.
Tua Mor
Tua Mor adalah seorang pawang sekaligus bekerja sebagai
kaki tangan Tuan Hisyam. Sebagai pawang, ia cukup dikenal dan kuasanya terhadap
jampi-jampi sangat kuat. Jampi-jampinya sempat mengenai Buyan dan ketika itulah
kali pertama Buyan tertangkap meskipun akhirnya berhasil meloloskan diri
setelah sempat mencederai paha Tua Mor dengan gigitan taringnya.
“Beberapa jam setelah peristiwa itu, tanpa
kusadari seseorang telah mengirimkan pawang buaya untuk menangkapku.aku tak
pernah memperhitungkan kekuatannya. Kupikir ia seperti dukun lain yang
menyiapkan kembang tujuh rupa untuk menangkapku. Sehingga banyak waktu buatku
untuk membuat perhitungan, tetapi tidak. Ia hanya duduk membongkok di tepi
sungai, lalu menepuk air sungai tiga kali berturut-turut sambil membaca
jampi-jampi: “Jum kali jum. Ucapku adalah ucap Sulaiman. Terkunci gerakmu
mendengar kataku,” jampi-jampinya bekerja. “Lalu ia bisa berbicara dneganku,
seperti ibu yang tengah ber-hypnosis denganku. Ia berjanji akan memberiku
makanan yang lebih ezat, lebih enak dari anak yang telah kutelan tadi. Temannya
yang lain tergopoh membawakan kulit kambing untuk memancingku keluar. Kulit
kambing sebanyak tiga kilo untuk umpan diikat pada mata pancing dari besi yang
dibengkokkan. Kemudian, dari mata kail diikat ke kawat lalu disambungkan ke
tali plastic yang akan digunakan untuk emngikat moncongku. Entah kenapa aku
menurut saja. Air sungai bergelora, daun-daun pohon nipah bergerak-gerak.
Setelah tenang, aku muncul ke permukaan” (Gampiran: 109).
Tua Mor juga sempat menikahi ibu Munita
karena ada misi yang dia emban. Misi melenyapkan gampiran. Kisah hidup Tua Mor
berakhir tragis. Ia mati dibunuh oleh Buyan dalam pergulatan pembebasan
dirinya. Kepalanya diterkam oleh Buyan yang bergigi taring tajam dan tiada
tandingan. Kekuatan dan kekuasaan Tua Mor hilang sudah.
g.
Tuan Hisyam
Ini adalah tokoh sentral yang tak banyak berperan dalam
cerita. Ia adalah orang di balik layar yang mengembangkan usahanya dalam
tambang. Ia sangat kaya tetapi takut pada buaya. Ia ibarat peniru ulung Genghis
Khan yang tersohor kejam pada masanya itu. Ialah orang yang menyuruh Tua Mor
melenyapkan buaya di bawah sungai setelah diberitahu Tua Mor bahwa itu akan menjadi
kendala pelebaran perusahaannya. Ia juga sangat membenci Wirawan dan sepak
terjangnya menghimpun massa berunjuk rasa karena katanya pabriknya membuat
udara lingkungan kotor.
Ia adalah pembunuh berdarah dingin. Ia seorang pengecut
yang hanya berani menarik pelatuk pistol lalu melarikan diri dari pertempuran
antara manusia dengan buaya.
Penembaknya lari tunggang langgang menaiki
helikopter yang sudah disipakan. Ia tak menyangka buaya yang sudah mati bisa
bergerak secepat kilat melindungi sasarannya. Pemandnagan di depan mata
menambah rasa paranoidnya. Bisa saja buaya yang lain melakukan hal yang sama
padanya. Ia bisa mati terpenggal seperti halnya Tua Mo.
Sudah cukup baginya untuk mengakhiri petualangannya di
bumi Sangtana. Ia tak hendak kembali lagi ke Sangtana dan mengubur semua
impiannya (Gampiran: 189-190).
h.
Seduyong
Ia seekor buaya putih yang tak memiliki ekor (Munita
menyebutnya buntung). Ia cantik dan hatinya lembut. Dikisahkan di bagian lain
bahwa Seduyong adalah turunan dari Bujang Senang yang sangat melegenda di
Serawak. Ia buaya yang tinggal di sungai Batang Lupar di Sri Aman, Serawak,
Malaysia. Bujang Senang merupakan seekor buaya yang terkenal karena
keganasannya. Kisah kekejamannya terekam di tahun 1941, karena pada tahun ini
banyak penduduk Serawak yang menjadi korban kekejamannya. Karena kekejaman
keluarganya, maka sampai keturunan-keturunan buaya berikutnya terus diburu
untuk dibunuh. Menurut Buyan, Seduyong datang ke goa mereka untuk meminta
pertolongan Buyan. Ia ikut bersembunyi ke goa jika suatu saat ia diburu oleh
pawng Serawak. Ia berjanji akan datang menemui Buyan lagi, dan karena ia tak
kunjung datang, Buyan menjadi merindu sementara Munita makin cemburu.
Namun belakangan baru diketahui bahwa ia adalah alat bagi
Tua Mor memancing Buyan keluar dari persembunyian bawah sungainya sehingga Tua
Mor lebih mudah menyelesaikan misi membunuh buaya seperti titah Tuan Hisyam.
“Seduyong itu dalam kekuasaan Tua Mor. Ia
ahli menghipnotis buaya. Seduyong salah satu kekuasaannya. Ia ditugaskan
memancing Buyan agar jatuh cinta padanya, agar kalian terpisah. Ia ingin Buyan
keluar dari alam bawah sungai mencari Seduyong. Dan ibumu dipaksa untuk untuk
tidak mengantar nutrisimu. Dalam keadaan cemburu dan malnutrisi kamu pasti akan
ke kampung Sangta dan ia sudah siap dengan perangkapnya di sana” (Gampiran:
165).
i.
Wirawan
Panggilannya Awan. Ia seorang pemuda yang tampan dan
berjiwa kstaria. Ia kekasih Monika yang bekerja sebagai guru honorer Sekolah
Dasar di Sangtana. Ia punya sikap menerima dan mau terbuka, mau mendengarkan
apa yang diceritakan orang lain, dan mau menghargai itu. Ketika Monika terbuka
soal ia punya gampiran buaya di bawah sungai, Awan sempat terkejut tetapi ia
bisa menerima keadaan itu.
“Kakak bisa menerimanya?” ulang Monik dengan
kalimat yang berbeda.
“Monik tetap manusia, kembarannya saja buaya. Bukankah
begitu?” Awan mengulangi (Gampiran: 78)
Monika kemudian mengatakan jika Munita tak diterima Buyan,
ia ingin Awan mengambil pula Munita (gampirannya) sebagai istri, Awan sempat
gamang, berpikir bahwa usul itu cukup aneh. Tetapi lantaran ia tak mau banyak
berdebat dengan calon istrinya ia akhirnya menyetujui usul gila itu. Toh, tak ada yang tahu bagaimana hidup
selanjutnya dan ia juga tak terlalu yakin bahwa apa yang dikatakan Monika itu
akan terbukti di kemudian hari. Mereka akhirnya menikah.
Wirawan pula orang
yang memelopori unjuk rasa pencemaran udara di Sangtana. Ia tampil dan Tuan
Hisyam menjadi ketar ketir. Dalam kisah selanjutnya, setelah pertempuran sengit
saling melindungi ketika Monik menepati janjinya untuk membantu membebaskan
Buyan, tak ada yang menyangka bahwa ia akhirnya menjadi suami Munita (Munita
sudah bisa mengenal kehidupan manusia seutuhnya). Sesuatu mengharuskan mereka
melanjutkan hidup.
j.
Dukun Beah
Kehadirannya di dalam novel ini hanya sebagai pendukung
cerita. Ia bukan tokoh sentral yang sangat penting tetapi cukup menolong
pembaca menikmati awal kisah kelahiran Munita dan adiknya. Ia dukun beranak
yang membantu persalinan Ibu Monika dan Munita. Ialah saksi hidup kelahiran
gampiran itu. Ia pula yang memberi usul untuk membuang bayi buaya gampiran ke
sungai belakang rumah dan ia berjanji pada ibu untuk tak menjaga rahasia
kelahiran gampiran itu.
“Begini saja, mumpung suamimu belum datang,
kita buang saja gampiran ini ke sungai belakang rumah. Bukankah itu habitat
yang tepat baginya? Kediamannya harusnya di sungai, kamu tinggal member makan
saja. Rahasia kelahirannya ini hanya kita berdua saja yang tahu. aku berjanji
tak akan memberitahu aib ini kepada siapapun,” ujarnya member usul. Entah
kenapa ibu yang sudah tak bisa berpikir jernih langsung menyetujui. Mereka
berdua segera menuju sungai yang terleak di belakang rumah kami (Gampiran: 21).
D.
PENUTUP
Secara umum novel ini menggelitik bahwa
ternyata dalam sebagian lokalitas masyarakat Banjar dan Kutai yang perlu
diketahui masyarakat luas. Novel fiksi yang sarat akan wawasan kearifan lokal
ini hendaknya bisa juga menjadi sebuah protes kecil terhadap kesewenangan
eksploitasi tambang batu bara di banyak daerah Kalimantan Timur. Recommended!
Hesti Kustrini ©Copyright2012
No comments:
Post a Comment