*ditulis sesuai mulanya. dimuat di Kaltim Post, 26 Juni 2011
Selamat membaca.... :)
DUA
CINCIN DESWITA
oleh Hesti Daisy
Masih
pukul 06:30 WITA. Pagi mengisyaratkan sepertinya sepanjang hari nanti akan
sangat cerah. Geliat aktifitas perkotaan di weekand
seperti ini memang hanya sedikit. Tidak seperti hari-hari kerja dimana pada
waktu seperti ini jalanan sudah ramai lalu lalang kendaraan dan pemakai jalan.
Jalanan dan sepanjang trotoar Ahad seperti ini biasanya dimanfaatkan oleh
gerombolan remaja dan anak-anak yang jogging
sambil tertawa-tawa.
Di dalam kamar bercat biru langit sebuah
hunian mewah, Deswita sedang mematut diri setengah meter di depan cermin riasnya.
Merapikan t-shirt berpadu celana jeans yang
dipakainya. Rambutnya hanya dikuncir ekor kuda. Beberapa saat ia tersenyum
kemudian maju beberapa langkah, lebih dekat dengan cermin. Sesaat ia merasa
sudah tak lagi muda meskipun teman-temannya mengatakan ia masih tetap segar dan
cantik layaknya gadis 18 tahunan.
“Alaaah..biar
sudah berumur kau itu tetap cantik, Des. Tak berdandan pun sudah terlihat
menarik. Auramu itu lho,” komentar Reta sahabat sekaligus teman kantornya
ketika Deswita iseng bertanya apakah ia terlihat tua.
“Ah,
kau bercanda. Aku ini sudah tua,” kata Deswita mempertahankan penilaian dirinya
sendiri.
“Ya
sudah, yang menilai kamu seperti apa kan orang lain. Tapi kalau kamu terus
menanamkan penilaian seperti itu kepada dirimu sendiri, jelas saja kau akan
cepat tua,” cetus Reta, mulai gemas dengan Deswita.
“Aduuh,
Nona manis jangan merajuk, dong. Iya, iya, aku masih muda kok meski sudah 26
tahun aku hidup di dunia. Haha..” seru Deswita sambil tertawa, menepuk-nepuk
paha Reta yang duduk di sampingnya. Reta merengut kesal.
“Kau
itu selalu begitu. Makanya cepatlah kau berumah tangga supaya suamimu saja yang
bilang untuk meyakinkanmu seyakin-yakinnya bahwa kau ini wanita muda cerdas
yang amat menarik untuk di lihat siapapun,” omelnya panjang lebar.
Tawa
Deswita yang riang mendadak senyap. Reta kemudian menoleh ke arah Deswita yang
diam. Ia sadar ada yang salah. Pasti ada.
“Maaf,
ya,” katanya meraih tangan Deswita dan mengusap-usapnya. Deswita menoleh dan
tersenyum getir sambil berkata, “Tidak apa-apa. Ayo kita pulang.”
***
Deswita mendesah. Kembali ia
memoleskan make up tipis ke beberapa
bagian wajahnya. Membubuhkan sapuan blush
on pipinya dan lipstick warna
cerah namun tidak norak di bibirnya. Ia menatap cermin. Menatap matanya sendiri
yang terlihat besar dan tegas akibat efek dari eye liner yang dipakainya. Mata yang kata banyak orang mempunyai
daya magis yang menyihir mata laki-laki manapun yang menatapnya. Menatap
matanya sendiri dari cermin, tiba-tiba ia teringat Ibunya.
“Kapan kamu akan menikah, Nduk?”
tanya Ibunya setiap kali ia pulang ke kampung halamannya yang asri. Pemukiman
desa yang jauh dari gangguan polusi, individualisme, dan gengsinya kehidupan
kota.
“Ibu sudah cukup bangga melihatmu
sukses seperti sekarang. Kamu akhirnya mampu
membuktikan pada Ibu kalau kamu mampu, Nduk. Ibu sangat berterima kasih
padamu. Andai tidak ada kamu, mungkin Farah dan Alma tidak bisa kuliah,
menggapai cita-cita mereka. Terima kasih ya, Nduk,” kata Ibunya sambil membelai
rambut Deswita yang tergerai separuh pinggang.
Bayangkan,
seorang Ibu mengucapkan terima kasih pada anaknya? Deswita hampir menitikkan
air mata. Tidak, dialah yang seharusnya berterima kasih pada Ibu. Bukan
sebaliknya. Ibunya berjuang sendirian sebagi single parent membimbing ketiga putrinya sejak Sang suami meninggal
ketika Deswita masih duduk di bangku kelas enam SD dan adik-adiknya duduk
beberapa tingkat di bawahnya. Bukan perkara mudah hidup menjanda dengan tiga
amanah, Deswita, Farah, dan Alma. Beruntung Deswita cepat tanggap akan
perjalanan kehidupan sehingga ia sebisa mungkin membantu Ibu mengayomi
adik-adiknya.
“Ibu
tahu kamu baru patah hati. Tapi bukan itu yang harus jadi alasan untukmu
membina rumah tangga,” suara Ibu tetap selembut dulu.
Deswita
sendiri baru bangkit dari patah hati karena ternyata kekasih yang dianggapnya
akan menjadi suaminya, hanya mengincar pundi-pundi rupiahnya. Tak heran memang,
karena Deswita adalah wanita muda cantik dengan karir yang terus naik. Punya
banyak teman dan kekayaan. Rumah yang sekarang ditinggalinya adalah dari usaha
kerasnya sendiri dan harganya juga tidak main-main.Yang mengherankan adalah
mengapa kepicikan kekasihnya baru diketahui ketika seminggu menjelang hari H
pernikahan mereka. Deswita marah, kecewa dan terluka. Sempat mengurung diri
dalam kamar sambil merutuki nasib cintanya. Membuat Surti, pembantunya
kebingungan. Begitupun Sardi, supir pribadinya yang berusia seperempat abad
menganggur karena Deswita mendadak cuti bekerja selama beberapa pekan. Wajar, fitrah
wanita ketika sakit hatinya. Selalu ingin sendiri. Setelah itu, ia memutuskan
untuk tidak menjalin hubungan asmara dengan siapapun. Ia trauma. Tapi sampai
kapan ia harus trauma ketika Ibunya terus menyanyakan kapan ia akan menikah?
Ia
ingat ketika Reta menasehatinya ketika ia sedang terpuruk. “Beruntung kau tahu
sekarang dan itu menyelamatkan masa depanmu. Kau bisa bayangkan andai kebenaran
ini baru kau ketahui ketika kalian terlanjur menikah? Apa jadinya?” Sementara
Deswita makin tergugu di pelukan sahabatnya itu.
***
Deswita
masih berdiri di depan cermin dan menatap matanya sendiri. Ia mendesah lagi.
Ibu. Apakah Ibu akan setuju dengan pilihanku? pikirnya.
“Ah, aku bisa meyakinkan Ibu nanti. Bukankah
Ibu sudah melimpahkan semua keputusan padaku? Semoga aku tak salah langkah.”
Berulang kali ia mengucapkan kalimat itu. Berusaha menguatkan keputusan
hatinya.
Deswita
mengambil kotak berwarna merah hati dari atas meja riasnya. Terlihat dua cincin
bersanding indah katika ia membuka kotak kecil itu. Ia menyambar tas bahunya
yang tergeletak di atas ranjang dan meletakkan kotak kecil berwarna merah ke
dalamnya.
Sebuah
keputusan besar telah ia tetapkan dengan mantap jauh-jauh hari. Ia masuk mobil
dan menyalakan mesin. Kali ini kemudi dipegangnya tanpa supir pribadinya, Sardi,
karena pria itu sengaja ia pecat dan ia pulang kampungkan kemarin. Hari ini ia
akan memberi tawaran Sardi untuk menjadi calon suaminya. Toh Sardilah yang selama ini setia mendampinginya pergi kemana
saja. Bujangan itu juga sudah cukup dikenal sekaligus mengenali Deswita seperti
anggota keluarganya sendiri. Deswita juga sudah berkali-kali mengantarkan Sardi
pulang kampung dengan mobilnya. Jadi silaturrahmi sudah tercipta sejak awal
Sardi bekerja pada Deswita dan sepertinya keputusannya akan bebas hambatan. Ia
yakin Sardi akan sulit menolaknya. Jadi apa yang salah? Tidak ada kan?
Sepanjang
perjalanan, ia tersenyum membayangkan wajah polos Sardi yang terkejut surprise didatangi mantan majikannya
menyodorkan tawaran ‘super indah’. Sementara Reta yang duduk di sampingnya
hanya tersenyum geli. Belum pernah ia melihat Deswita seceria ini setelah dulu
patah hati.
“Sebuah
keputusan yang sangat berani, Des,” katanya. Deswita menoleh.
“Hidup
harus berani, bukan?” pungkas Deswita mantap dan tegas.
“Eiits,
itu kan kata-kataku dulu,” Reta menyela.
Keduanya
lantas tertawa.
***
No comments:
Post a Comment