Thursday, April 18, 2013

Cerita Pendek Pertama di Media Cetak


*ditulis sesuai mulanya. dimuat di Kaltim Post, 26 Juni 2011

Selamat membaca.... :)

DUA CINCIN DESWITA
oleh Hesti Daisy
 
Masih pukul 06:30 WITA. Pagi mengisyaratkan sepertinya sepanjang hari nanti akan sangat cerah. Geliat aktifitas perkotaan di weekand seperti ini memang hanya sedikit. Tidak seperti hari-hari kerja dimana pada waktu seperti ini jalanan sudah ramai lalu lalang kendaraan dan pemakai jalan. Jalanan dan sepanjang trotoar Ahad seperti ini biasanya dimanfaatkan oleh gerombolan remaja dan anak-anak yang jogging sambil tertawa-tawa.
 Di dalam kamar bercat biru langit sebuah hunian mewah, Deswita sedang mematut diri setengah meter di depan cermin riasnya. Merapikan  t-shirt berpadu celana jeans yang dipakainya. Rambutnya hanya dikuncir ekor kuda. Beberapa saat ia tersenyum kemudian maju beberapa langkah, lebih dekat dengan cermin. Sesaat ia merasa sudah tak lagi muda meskipun teman-temannya mengatakan ia masih tetap segar dan cantik layaknya gadis 18 tahunan.
“Alaaah..biar sudah berumur kau itu tetap cantik, Des. Tak berdandan pun sudah terlihat menarik. Auramu itu lho,” komentar Reta sahabat sekaligus teman kantornya ketika Deswita iseng bertanya apakah ia terlihat tua.
“Ah, kau bercanda. Aku ini sudah tua,” kata Deswita mempertahankan penilaian dirinya sendiri.
“Ya sudah, yang menilai kamu seperti apa kan orang lain. Tapi kalau kamu terus menanamkan penilaian seperti itu kepada dirimu sendiri, jelas saja kau akan cepat tua,” cetus Reta, mulai gemas dengan Deswita.
“Aduuh, Nona manis jangan merajuk, dong. Iya, iya, aku masih muda kok meski sudah 26 tahun aku hidup di dunia. Haha..” seru Deswita sambil tertawa, menepuk-nepuk paha Reta yang duduk di sampingnya. Reta merengut kesal.
“Kau itu selalu begitu. Makanya cepatlah kau berumah tangga supaya suamimu saja yang bilang untuk meyakinkanmu seyakin-yakinnya bahwa kau ini wanita muda cerdas yang amat menarik untuk di lihat siapapun,” omelnya panjang lebar.
Tawa Deswita yang riang mendadak senyap. Reta kemudian menoleh ke arah Deswita yang diam. Ia sadar ada yang salah. Pasti ada.
“Maaf, ya,” katanya meraih tangan Deswita dan mengusap-usapnya. Deswita menoleh dan tersenyum getir sambil berkata, “Tidak apa-apa. Ayo kita pulang.”
***
            Deswita mendesah. Kembali ia memoleskan make up tipis ke beberapa bagian wajahnya. Membubuhkan sapuan blush on pipinya dan lipstick warna cerah namun tidak norak di bibirnya. Ia menatap cermin. Menatap matanya sendiri yang terlihat besar dan tegas akibat efek dari eye liner yang dipakainya. Mata yang kata banyak orang mempunyai daya magis yang menyihir mata laki-laki manapun yang menatapnya. Menatap matanya sendiri dari cermin, tiba-tiba ia teringat Ibunya.
            “Kapan kamu akan menikah, Nduk?” tanya Ibunya setiap kali ia pulang ke kampung halamannya yang asri. Pemukiman desa yang jauh dari gangguan polusi, individualisme, dan gengsinya kehidupan kota.
            “Ibu sudah cukup bangga melihatmu sukses seperti sekarang. Kamu akhirnya mampu  membuktikan pada Ibu kalau kamu mampu, Nduk. Ibu sangat berterima kasih padamu. Andai tidak ada kamu, mungkin Farah dan Alma tidak bisa kuliah, menggapai cita-cita mereka. Terima kasih ya, Nduk,” kata Ibunya sambil membelai rambut Deswita yang tergerai separuh pinggang.
Bayangkan, seorang Ibu mengucapkan terima kasih pada anaknya? Deswita hampir menitikkan air mata. Tidak, dialah yang seharusnya berterima kasih pada Ibu. Bukan sebaliknya. Ibunya berjuang sendirian sebagi single parent membimbing ketiga putrinya sejak Sang suami meninggal ketika Deswita masih duduk di bangku kelas enam SD dan adik-adiknya duduk beberapa tingkat di bawahnya. Bukan perkara mudah hidup menjanda dengan tiga amanah, Deswita, Farah, dan Alma. Beruntung Deswita cepat tanggap akan perjalanan kehidupan sehingga ia sebisa mungkin membantu Ibu mengayomi adik-adiknya.
“Ibu tahu kamu baru patah hati. Tapi bukan itu yang harus jadi alasan untukmu membina rumah tangga,” suara Ibu tetap selembut dulu.
Deswita sendiri baru bangkit dari patah hati karena ternyata kekasih yang dianggapnya akan menjadi suaminya, hanya mengincar pundi-pundi rupiahnya. Tak heran memang, karena Deswita adalah wanita muda cantik dengan karir yang terus naik. Punya banyak teman dan kekayaan. Rumah yang sekarang ditinggalinya adalah dari usaha kerasnya sendiri dan harganya juga tidak main-main.Yang mengherankan adalah mengapa kepicikan kekasihnya baru diketahui ketika seminggu menjelang hari H pernikahan mereka. Deswita marah, kecewa dan terluka. Sempat mengurung diri dalam kamar sambil merutuki nasib cintanya. Membuat Surti, pembantunya kebingungan. Begitupun Sardi, supir pribadinya yang berusia seperempat abad menganggur karena Deswita mendadak cuti bekerja selama beberapa pekan. Wajar, fitrah wanita ketika sakit hatinya. Selalu ingin sendiri. Setelah itu, ia memutuskan untuk tidak menjalin hubungan asmara dengan siapapun. Ia trauma. Tapi sampai kapan ia harus trauma ketika Ibunya terus menyanyakan kapan ia akan menikah?
Ia ingat ketika Reta menasehatinya ketika ia sedang terpuruk. “Beruntung kau tahu sekarang dan itu menyelamatkan masa depanmu. Kau bisa bayangkan andai kebenaran ini baru kau ketahui ketika kalian terlanjur menikah? Apa jadinya?” Sementara Deswita makin tergugu di pelukan sahabatnya itu.
***
Deswita masih berdiri di depan cermin dan menatap matanya sendiri. Ia mendesah lagi. Ibu. Apakah Ibu akan setuju dengan pilihanku? pikirnya.
 “Ah, aku bisa meyakinkan Ibu nanti. Bukankah Ibu sudah melimpahkan semua keputusan padaku? Semoga aku tak salah langkah.” Berulang kali ia mengucapkan kalimat itu. Berusaha menguatkan keputusan hatinya.
Deswita mengambil kotak berwarna merah hati dari atas meja riasnya. Terlihat dua cincin bersanding indah katika ia membuka kotak kecil itu. Ia menyambar tas bahunya yang tergeletak di atas ranjang dan meletakkan kotak kecil berwarna merah ke dalamnya.
Sebuah keputusan besar telah ia tetapkan dengan mantap jauh-jauh hari. Ia masuk mobil dan menyalakan mesin. Kali ini kemudi dipegangnya tanpa supir pribadinya, Sardi, karena pria itu sengaja ia pecat dan ia pulang kampungkan kemarin. Hari ini ia akan memberi tawaran Sardi untuk menjadi calon suaminya. Toh Sardilah yang selama ini setia mendampinginya pergi kemana saja. Bujangan itu juga sudah cukup dikenal sekaligus mengenali Deswita seperti anggota keluarganya sendiri. Deswita juga sudah berkali-kali mengantarkan Sardi pulang kampung dengan mobilnya. Jadi silaturrahmi sudah tercipta sejak awal Sardi bekerja pada Deswita dan sepertinya keputusannya akan bebas hambatan. Ia yakin Sardi akan sulit menolaknya. Jadi apa yang salah? Tidak ada kan?
Sepanjang perjalanan, ia tersenyum membayangkan wajah polos Sardi yang terkejut surprise didatangi mantan majikannya menyodorkan tawaran ‘super indah’. Sementara Reta yang duduk di sampingnya hanya tersenyum geli. Belum pernah ia melihat Deswita seceria ini setelah dulu patah hati.
“Sebuah keputusan yang sangat berani, Des,” katanya. Deswita menoleh.
“Hidup harus berani, bukan?” pungkas Deswita mantap dan tegas.
“Eiits, itu kan kata-kataku dulu,” Reta menyela.
Keduanya lantas tertawa.
***






No comments:

Post a Comment