Ini pengalaman ketika sebuah senja saya pulang berjalan kaki dari
markas UKM Jurnalistik Unmul ke arah Pramuka. Di depan pertigaan
Kedokteran, saya melihat seorang Kakek bercelana kumal, di bahunya
tersampir sarung–saya tak bisa menaksir usianya–berjalanbungkuk dan
tertatih dengan sebuah tongkat di tangannya hendak menyeberang jalan.
Kendaraan yang lalu lalang tak urung membuat sang Kakek maju mundur
untuk menyeberang. Saya memperhatikan sekeliling dan mencoba untuk
memberi kode kepada para pengendara untuk sejenak memberi ruang si Kakek
menyeberang lalu saya dekati Kakek itu dan mencoba membantunya. Saya
gandeng tangannya dan ketika dari dekat itulah saya bisa melihat dia
membawa sebungkus makanan. Sekilas tadi saya kira Kakek ini
peminta-minta, tapi segera saya tepis dugaan buruk itu. Saya tidak
berani berhipotesis hanya karena memang ada saja para peminta yang
merdeka keluar masuk area kampus (bahkan pernah mereka menyambangi
kelas-kelas kuliah). Sesuatu yang semoga tidak terlihat di kampus-kampus
lain. Bukan perkara ini jalanan umum, sih, tapi menurut saya ini kan
lingkungan akademik, jadi setidaknya pemandangan yang seperti itu tidak
ada lagi.
Lanjut ke soal si Kakek yang akan menyeberang jalan. Saat hampir di tengah jalan, saya baru sadar Kekek itu berkata pelan,“Sudah, tinggalkan saya. Kamu pulang saja sana.”
Segera saya sadar bahwa intonasi Kakek itu cukup menunjukkan ia sedang dalam keadaan tidak mood.
Saya lalu melonggarkan pegangan tangan saya dan terhenyak sesaat,
adakah yang keliru pada diri saya? Saya sempat heran hingga seorang
Bapak muda menggendong anaknya datang menghampiri kami. Dia melemparkan
senyum sebentar lalu menuntun si Bapak sampai ke seberang jalan. Saya
terbengong-bengong di tengah jalan, dan saya bisa melihat beberapa
pengendara yang lewat juga sama seperti saya. Ini Kakek sama saya ngata-ngatain gitu? Sama Bapak muda kok mau?
Hmm..saya berharap ketika itu si Bapak muda yang tadi mengantarnya ke
pinggir jalan tidak mendapat ucapan yang sama seperti saya.
Saya lalu melanjutkan perjalanan, mempercepat langkah sebelum azan
Maghrib menggema di langit Samarinda. Sambil berjalan, saya terus
memikirkan apa yang baru saja saya alami hingga akhirnya saya membuat
hikmah dari apa yang terjadi:
1) Mungkin saja Kakek itu terbiasa mandiri dan tak mau menyusahkan orang lain meskipun orang lain melihat dia wajib dibantu.
2) Karena melihat saya sendirian berjalan kaki menjelang senja, mungkin dia juga memikirkan saya. Ingat ketika dia bilang saya pulang saja? Anak perempuan senja-senja masih di luar? Kan gitu kira-kira.
Saya mencoba berpikir positif.
Yah, mungkin teman-teman pernah mengalami hal serupa. Ternyata niat
baik tak selalu disambut dengan berkenan. Mungkin ada hal-hal yang
membuat kita justru bertanya-tanya apa salah kita membantu orang lain?
Seperti yang saya pikirkan hingga sekarang. Saya malah pernah dapat
cerita begini, orang Indonesia sedang berada di bandar udara luar
negeri. Ketika itu ia melihat seorang anak kecil terjatuh dan anak itu
menangis. Refleks si orang Indonesia ini bergegas ingin menolongnya anak
itu. Belum sempat ia menyentuh tubuh anak itu, ia mendengar suara keras
di belakangnya, yang kalau dibahasaindonesiakan kira-kitra begini
artinya,” Tidak Pak, tak usah dibantu anak saya. Biarkan dia sendiri.”
Nah loh! Jadi?
No comments:
Post a Comment