MENEMUKAN YANG HILANG
Adam
Aku masih menggeliat di
atas kasur ketika cahaya matahari masuk lewat celah ventilasi jendela kamar dan
menerpa wajah. Membuka mata dan menumbukkannya ke arah jam weker kecil di atas
meja kecil di samping ranjang. Hm, pukul 6:05
Wita. Aku menggeliat sekali lagi, melemaskan otot-otot sambil menguap lebar,
menuntaskan kantuk. Aku lantas duduk di tepi ranjang sambil
menggosok-nggosokkan dua telapak tangan ke wajah, menyempurnakan kesadaran.
“Kepada bapak ibu,
semua warga RT 19 harap segera menuju titik awal kerja bakti. Silakan bawa
perlatan masing-masing, boleh cangkul, sabit, atau sapu lidi.”
Aku mendengar suara
itu. Suara laki-laki yang dilantangkan lewat pengeras suara, berasal dari arah
masjid. Aku mengernyitkan dahi. Tadi ketika tidur, aku juga seperti mendengar
suara semacam itu. Kukira sekarang pun aku sedang bermimpi. Kutepuk paha kanan,
jangan-jangan aku belum bangun sungguhan. Tidak, aku tidak sedang bermimpi.
Barangkali suara itulah yang sampai ke dalam mimpiku, membangunkanku.
**
Dimas
Kembali kuhitung jumlah
orang yang ada di depanku. Tidak lebih dari sepuluh jumlahnya. Tanpa sadar aku
mendesah. Rasanya jumlah orang di daerah sini
lebih banyak dari yang ada di depanku sekarang. Ke mana yang lain?
Aku menatap mereka
satu-satu. Tujuh dari sepuluh adalah laki-laki berusia sekitar lima puluhan.
Sedangkan sisanya laki-laki berusia tiga puluhan. Mereka duduk berkumpul sambil
berbincang-bincang. Di sekitar mereka tergeletak perlatan-peralatan yang
kemarin kuumumkan lewat pengeras suara masjid ini. Ya, kemarin, dan hari ini
lagi, berkali-kali.
“Cuma segini, Pak?” tanya
Rahman, lelaki yang termasuk berusia sekitar tiga puluhan kepadaku. Aku jawab
dengan anggukan kepala sambil melihat jarum jam di tangan.
“Kita mulai saja, pak,
sebelum matahari naik,” kataku kemudian.
**
Adam
Aku pergi ke kamar
mandi dengan langkah berat. Mencuci muka dan menggosok gigi. Minggu pagi. Aku
absen jogging di area car free day Kusuma Bangsa seperti yang
biasa kulakukan di minggu-minggu sebelumnya. Minggu kali ini ingin kunikmati di
rumah saja. Kakak perampuanku--Tania dan ibu sedang berada di luar kota sejak
kamis kemarin, jadi aku terpaksa tidak bisa ke mana-mana karena harus menjaga
rumah. Sebenarnya, Kamal dan Radit mengajak berkemah di pantai Sekerat, tapi aku
terpaksa tak ikut karena alasan menjaga rumah. Sebenarnya aku cukup tergoda
dengan tawaran mereka, membayangkan tenda yang berdiri di dekat pantai Sekerat,
bermain pasir saat malam, dan tidur dalam iringan alunan debur ombak serta angin
yang lebih dingin. Tetapi, aku tetap tak bisa mencuri waktu dan pergi begitu
saja sementara rumah kosong melompong. Sudah janjiku pada ibu untuk tidak
mengosongkan rumah. Ah, andai tawaran itu
datang jauh hari sebelum ibu dan kakakku pergi….
Aku melipir ke dapur
untuk menyeduh kopi kemudian membukai jendela rumah agar udara segar dan cahaya
matahari bisa masuk mengusir pengap dan gelap. Terakhir, aku membuka pintu
depan. Aku kembali ke dapur, mengambil cangkir kopi dan membawanya ke beranda. Aku
ingin membaca surat kabar sambil duduk santai menyesap kopi pagi yang wangi.
**
“Apa tidak sebaiknya
kita tunggu barang setengah jam lagi, Pak?” saran Rahman.
“Saya
rasa tidak perlu, toh kalau ada yang baru datang, tinggal bergabung saja
langsung. Pekerjaan baik tidak baik ditunda-tunda, Pak. Apalagi alasannya
menunggu orang-orang yang kita tidak tahu apakah datang atau tidak. Mestinya
hal-hal seperti ini sudah sadar diri menjadi kewajiban, toh ketika rapat antar
warga kemarin kita sudah sepakat akan mengadakan kerja bakti setiap Minggu
pagi,” jawabku sambil mengayunkan cangkulnya ke parit.
Parit itu baru sepekan
lalu digali, tapi hari ini sudah dangkal lagi. Aliran air kadang membawa debu
dan pasir-pasir yang akhirnya membuat endapan di sana. Belum lagi ketika curah
hujan dan terkadang air menggenangi badan jalan. Seperti kemarin pasca hujan,
kemudian ditambah dengan meluapnya air sungai Karang Mumus, jadi airnya tumpah
ke jalan dan tergenang. Waktu itu aku ingat anakku pernah melapor, “Pak,
sepertinya air sungai itu capek tinggal di sungai, jadi dia pindah ke jalan, deh.”
“Lha, rapat antar warga kemarin kalau
tidak keliru bukannya dihadiri orang-orang ini juga?” Rahman mengarahkan
pandangannya ke warga yang mulai mencabuti rumput-rumput di pingir jalan dan
parit.
Aku
terkesiap. Benar juga, bukankah yang
kemarin datang rapat adalah orang-orang ini juga? Kenapa rasanya begitu sulit
mengumpulkan warga untuk berbincang-bincang demi kebersihan lingkungan bersama?
Aku menggeleng-gelengkan kepala sebelum kembali bekerja.
**
Adam
Ayahku meninggal dunia
ketika aku hendak ujian nasional SMA. Aku terguncang sekali. Saat aku butuh
penguatan dan bimbingan banyak, ayah justru berpulang. Aku tidak menyalahkan
Tuhan dan putusanNya, tapi waktu itu aku benar-benar sedih. Saat aku dinyatakan
lulus masuk program kedokteran Universitas Mulawarman, aku menangis. Ayah yang
sangat ingin aku jadi dokter. Kuenyahkan segala malu dan gengsi. Aku ingat ayah
dan berharap ia ada di sini untuk kubagi bahagiaku. Kak Tania dan ibu memelukku
erat. Tangisku menderas karena mestinya ada satu orang lagi yang memelukku sedemikian
erat. Aku masih ingat bahwa lengan ayah sangat kuat. Aku berani bertaruh, meski
usianya tak bisa lagi terbilang muda, ketika adu panco melawan siapapun,
peluang menangnya pasti besar. Aku amat bangga dengan ayah. Dulu, ketika ayah
masih hidup, aku kerap membanding-bandingkan ketampananku dengan ayah di depan
kakak dan ibuku.
“Yah, kita tanya ke
mereka siapa yang paling ganteng. Aku, atau ayah?” kataku merangkul pundak ayah
dan mendekati Kak Tania dan ibu.
“Jelas ganteng ayah,
dong,” kata ayah sambil senyum-senyum.
“Belum tentu….” kataku
penuh percaya diri.
“Kak Tania, ganteng aku
atau ganteng ayah?” tanyaku penuh semangat.
“Umm…ganteng
kamu….sedikit, ayah banyak,” katanya sambil terbahak-bahak. Ayah tergelak. Ia menyenggol
bahuku, berniat menggodaiku habis-habisan.
“Ibu, ganteng ayah atau
ganteng aku?” tanyaku sambil mengedipkan sebelah mata. Berharap setidaknya aku
bisa punya skor satu jadi bisa mengimbangi skor penilaian milik ayah.
“Gantengan ayahmu dong,
kan ibu nikahnya sama ayah,” kata ibu tanpa tedeng
aling-aling. Aku melongo. Jadi di rumah ini tidak ada yang mengakui
kegantenganku?
Sekarang, tidak ada
lagi yang bisa kuajak adu kegantengan sebab kini akulah orang ganteng dalam
seisi rumah. Aku rindu ayah. Suatu sore ketika matahari berkemas pulang, ayah
pernah berpesan kepadaku,”Jadilah seseorang yang selalu merasa dibutuhkan.
Bukan hendak merasa berkuasa atau hebat, tapi semoga dengan begitu kamu terus
punya kehendak untuk berbuat lebih banyak. Berbuat untuk diri kamu dan orang
lain.”
Aku melipat koran di
tanganku dan meletakkannya di atas meja dengan malas. Aku meraih telinga cangkir kopi dan menyesap air
hitam manis itu dengan nikmat. Beberapa saat aku mendengar suara “srek-srek”
tak jauh dari rumah. Penasaran, aku berdiri dan berjalan ke luar gerbang rumah.
Kulihat segerombol lelaki dengan peralatan-peralatan kebersihan sedang larut
dalam pekerjaannya masing-masing. Aku menatap mereka dari kejauhan. Aku
menikmati pemandangan itu dengan santai sampai kemudian aku tersadar, pandanganku
tertumbuk pada sepasang mata milik laki-laki yang kukenal akrab juga sedang
menatapku.
**
Dimas
Aku memperhatikan Adam.
Anak laki-laki itu dulu sering kugendong dan kuajak bermain ke rumahku. Ayah
Adam adalah rekan seperjuangan dulu ketika kami sama-sama merantau ke
Samarinda. Jatuh bangun memulai dan mengembangkan bisnis bersama saat lajang
untuk mencari modal berumah tangga, saling mencarikan pasangan, dan
macam-macamlah.
Aku melihat Adam
seperti layaknya anak kandung, apalagi sejak Ayahnya meninggal dunia beberapa
tahun silam. Hanya saja sekarang tidak sesering dulu aku melihat Adam.
Barangkali karena kesibukan masing-masing. Adam dengan kuliahnya, dan aku
dengan urusan bisnis yang kian berkembang dengan dibukanya beberapa cabang di
luar kota.
Pagi ini aku kembali
melihat Adam. Anak laki-laki itu sudah dewasa dan kian matang.
**
Adam
Ah,
itu sahabat ayah, begitu benakku berkata. Apa yang harus aku lakukan? tanyaku. Aku
berharap seseorang bisa memberi jawaban, tapi tentu di sini tidak ada orang
selain diriku sendiri
Apa
aku harus ke sana? Tapi buat apa? Tidak ada anak laki-laki sebayaku di sana.
Aku menghitung jumlah
orang yang ada di sekitar Pak Dimas. Satu, dua, lima, belasan orang.
Sekarang
pukul berapa?
Pukul 7:13 Wita.
Matahari kian tinggi.
**
Dimas
Apa yang sedang
dipikirkan anak itu di sana? Dia hanya berdiri mematung di depan gerbang
rumahnya yang megah. Matahari sudah kian tinggi. Pegal-pegal kaki, pinggang dan
tangan kian terasa. Kami memutuskan beristirahat sejenak. Aku melihat ke jalur
yang sudah kami sentuh. Ada rasa bangga dan haru menyeruak. Tadi kami
kedatangan beberapa personil yang langsung ikut bergabung. Bapak-bapak juga
sepertiku dan seperti semua yang hadir di sini. Telah berumah tangga, beranak
dua atau lima, dan menua. Kami perlu orang-orang yang peduli untuk membantu,
bukan membatu.
Hei, Nak, apa yang kau
pikirkan saat melihat kami di sini? Ini tulang-tulang renta kami
banting-banting, kami tidak digaji, sebab kami bekerja untuk kami sendiri. Hei,
Nak, apa yang kamu timbang-timbang lagi? Kemarilah, kamu adalah milik kami yang
hilang. Bantu kami menemukanmu, jiwa-jiwa yang membantu.
**
Adam
Aku menutup pintu
gerbang. Menguncinya.
**
Aku
Buru-buru kuakhiri
tulisan ini saat kulihat Adam mengunci gerbang rumahnya. Beranjak aku membuka
mata, hati, dan telinga. Menyusul Adam dengan membawa seteko teh hangat dan
seloyang jajangan pasar buatan ibu. Semoga mereka suka.
**
Samarinda, 1 Mei 2013
No comments:
Post a Comment