Tuesday, May 21, 2013

Persembahan untuk Indonesia (Harkitnas 2013)

Lihat http://diskominfo.kaltimprov.go.id/berita-2252-generasi-muda-harus-jadi-pejuang-dan-petarung-tangguh---.html


MENEMUKAN YANG HILANG

Adam
Aku masih menggeliat di atas kasur ketika cahaya matahari masuk lewat celah ventilasi jendela kamar dan menerpa wajah. Membuka mata dan menumbukkannya ke arah jam weker kecil di atas meja kecil di samping ranjang. Hm, pukul 6:05 Wita. Aku menggeliat sekali lagi, melemaskan otot-otot sambil menguap lebar, menuntaskan kantuk. Aku lantas duduk di tepi ranjang sambil menggosok-nggosokkan dua telapak tangan ke wajah, menyempurnakan kesadaran.
“Kepada bapak ibu, semua warga RT 19 harap segera menuju titik awal kerja bakti. Silakan bawa perlatan masing-masing, boleh cangkul, sabit, atau sapu lidi.”
Aku mendengar suara itu. Suara laki-laki yang dilantangkan lewat pengeras suara, berasal dari arah masjid. Aku mengernyitkan dahi. Tadi ketika tidur, aku juga seperti mendengar suara semacam itu. Kukira sekarang pun aku sedang bermimpi. Kutepuk paha kanan, jangan-jangan aku belum bangun sungguhan. Tidak, aku tidak sedang bermimpi. Barangkali suara itulah yang sampai ke dalam mimpiku, membangunkanku.

**
Dimas
Kembali kuhitung jumlah orang yang ada di depanku. Tidak lebih dari sepuluh jumlahnya. Tanpa sadar aku mendesah. Rasanya jumlah orang di daerah sini lebih banyak dari yang ada di depanku sekarang. Ke mana yang lain?
Aku menatap mereka satu-satu. Tujuh dari sepuluh adalah laki-laki berusia sekitar lima puluhan. Sedangkan sisanya laki-laki berusia tiga puluhan. Mereka duduk berkumpul sambil berbincang-bincang. Di sekitar mereka tergeletak perlatan-peralatan yang kemarin kuumumkan lewat pengeras suara masjid ini. Ya, kemarin, dan hari ini lagi, berkali-kali.
“Cuma segini, Pak?” tanya Rahman, lelaki yang termasuk berusia sekitar tiga puluhan kepadaku. Aku jawab dengan anggukan kepala sambil melihat jarum jam di tangan.
“Kita mulai saja, pak, sebelum matahari naik,” kataku kemudian.

**
Adam
Aku pergi ke kamar mandi dengan langkah berat. Mencuci muka dan menggosok gigi. Minggu pagi. Aku absen jogging di area car free day Kusuma Bangsa seperti yang biasa kulakukan di minggu-minggu sebelumnya. Minggu kali ini ingin kunikmati di rumah saja. Kakak perampuanku--Tania dan ibu sedang berada di luar kota sejak kamis kemarin, jadi aku terpaksa tidak bisa ke mana-mana karena harus menjaga rumah. Sebenarnya, Kamal dan Radit mengajak berkemah di pantai Sekerat, tapi aku terpaksa tak ikut karena alasan menjaga rumah. Sebenarnya aku cukup tergoda dengan tawaran mereka, membayangkan tenda yang berdiri di dekat pantai Sekerat, bermain pasir saat malam, dan tidur dalam iringan alunan debur ombak serta angin yang lebih dingin. Tetapi, aku tetap tak bisa mencuri waktu dan pergi begitu saja sementara rumah kosong melompong. Sudah janjiku pada ibu untuk tidak mengosongkan rumah. Ah, andai tawaran itu datang jauh hari sebelum ibu dan kakakku pergi….
Aku melipir ke dapur untuk menyeduh kopi kemudian membukai jendela rumah agar udara segar dan cahaya matahari bisa masuk mengusir pengap dan gelap. Terakhir, aku membuka pintu depan. Aku kembali ke dapur, mengambil cangkir kopi dan membawanya ke beranda. Aku ingin membaca surat kabar sambil duduk santai menyesap kopi pagi yang wangi.
**
“Apa tidak sebaiknya kita tunggu barang setengah jam lagi, Pak?” saran Rahman.
            “Saya rasa tidak perlu, toh kalau ada yang baru datang, tinggal bergabung saja langsung. Pekerjaan baik tidak baik ditunda-tunda, Pak. Apalagi alasannya menunggu orang-orang yang kita tidak tahu apakah datang atau tidak. Mestinya hal-hal seperti ini sudah sadar diri menjadi kewajiban, toh ketika rapat antar warga kemarin kita sudah sepakat akan mengadakan kerja bakti setiap Minggu pagi,” jawabku sambil mengayunkan cangkulnya ke parit.
Parit itu baru sepekan lalu digali, tapi hari ini sudah dangkal lagi. Aliran air kadang membawa debu dan pasir-pasir yang akhirnya membuat endapan di sana. Belum lagi ketika curah hujan dan terkadang air menggenangi badan jalan. Seperti kemarin pasca hujan, kemudian ditambah dengan meluapnya air sungai Karang Mumus, jadi airnya tumpah ke jalan dan tergenang. Waktu itu aku ingat anakku pernah melapor, “Pak, sepertinya air sungai itu capek tinggal di sungai, jadi dia pindah ke  jalan, deh.”
            Lha, rapat antar warga kemarin kalau tidak keliru bukannya dihadiri orang-orang ini juga?” Rahman mengarahkan pandangannya ke warga yang mulai mencabuti rumput-rumput di pingir jalan dan parit.
            Aku terkesiap. Benar juga, bukankah yang kemarin datang rapat adalah orang-orang ini juga? Kenapa rasanya begitu sulit mengumpulkan warga untuk berbincang-bincang demi kebersihan lingkungan bersama? Aku menggeleng-gelengkan kepala sebelum kembali bekerja.

**
Adam
Ayahku meninggal dunia ketika aku hendak ujian nasional SMA. Aku terguncang sekali. Saat aku butuh penguatan dan bimbingan banyak, ayah justru berpulang. Aku tidak menyalahkan Tuhan dan putusanNya, tapi waktu itu aku benar-benar sedih. Saat aku dinyatakan lulus masuk program kedokteran Universitas Mulawarman, aku menangis. Ayah yang sangat ingin aku jadi dokter. Kuenyahkan segala malu dan gengsi. Aku ingat ayah dan berharap ia ada di sini untuk kubagi bahagiaku. Kak Tania dan ibu memelukku erat. Tangisku menderas karena mestinya ada satu orang lagi yang memelukku sedemikian erat. Aku masih ingat bahwa lengan ayah sangat kuat. Aku berani bertaruh, meski usianya tak bisa lagi terbilang muda, ketika adu panco melawan siapapun, peluang menangnya pasti besar. Aku amat bangga dengan ayah. Dulu, ketika ayah masih hidup, aku kerap membanding-bandingkan ketampananku dengan ayah di depan kakak dan ibuku.
“Yah, kita tanya ke mereka siapa yang paling ganteng. Aku, atau ayah?” kataku merangkul pundak ayah dan mendekati Kak Tania dan ibu.
“Jelas ganteng ayah, dong,” kata ayah sambil senyum-senyum.
“Belum tentu….” kataku penuh percaya diri.
“Kak Tania, ganteng aku atau ganteng ayah?” tanyaku penuh semangat.
“Umm…ganteng kamu….sedikit, ayah banyak,” katanya sambil terbahak-bahak. Ayah tergelak. Ia menyenggol bahuku, berniat menggodaiku habis-habisan.
“Ibu, ganteng ayah atau ganteng aku?” tanyaku sambil mengedipkan sebelah mata. Berharap setidaknya aku bisa punya skor satu jadi bisa mengimbangi skor penilaian milik ayah.
“Gantengan ayahmu dong, kan ibu nikahnya sama ayah,” kata ibu tanpa tedeng aling-aling. Aku melongo. Jadi di rumah ini tidak ada yang mengakui kegantenganku?
Sekarang, tidak ada lagi yang bisa kuajak adu kegantengan sebab kini akulah orang ganteng dalam seisi rumah. Aku rindu ayah. Suatu sore ketika matahari berkemas pulang, ayah pernah berpesan kepadaku,”Jadilah seseorang yang selalu merasa dibutuhkan. Bukan hendak merasa berkuasa atau hebat, tapi semoga dengan begitu kamu terus punya kehendak untuk berbuat lebih banyak. Berbuat untuk diri kamu dan orang lain.”
Aku melipat koran di tanganku dan meletakkannya di atas meja dengan malas. Aku  meraih telinga cangkir kopi dan menyesap air hitam manis itu dengan nikmat. Beberapa saat aku mendengar suara “srek-srek” tak jauh dari rumah. Penasaran, aku berdiri dan berjalan ke luar gerbang rumah. Kulihat segerombol lelaki dengan peralatan-peralatan kebersihan sedang larut dalam pekerjaannya masing-masing. Aku menatap mereka dari kejauhan. Aku menikmati pemandangan itu dengan santai sampai kemudian aku tersadar, pandanganku tertumbuk pada sepasang mata milik laki-laki yang kukenal akrab juga sedang menatapku.
**
Dimas
Aku memperhatikan Adam. Anak laki-laki itu dulu sering kugendong dan kuajak bermain ke rumahku. Ayah Adam adalah rekan seperjuangan dulu ketika kami sama-sama merantau ke Samarinda. Jatuh bangun memulai dan mengembangkan bisnis bersama saat lajang untuk mencari modal berumah tangga, saling mencarikan pasangan, dan macam-macamlah.
Aku melihat Adam seperti layaknya anak kandung, apalagi sejak Ayahnya meninggal dunia beberapa tahun silam. Hanya saja sekarang tidak sesering dulu aku melihat Adam. Barangkali karena kesibukan masing-masing. Adam dengan kuliahnya, dan aku dengan urusan bisnis yang kian berkembang dengan dibukanya beberapa cabang di luar kota.
Pagi ini aku kembali melihat Adam. Anak laki-laki itu sudah dewasa dan kian matang.

**
Adam
Ah, itu sahabat ayah, begitu benakku berkata. Apa yang harus aku lakukan? tanyaku. Aku berharap seseorang bisa memberi jawaban, tapi tentu di sini tidak ada orang selain diriku sendiri
Apa aku harus ke sana? Tapi buat apa? Tidak ada anak laki-laki sebayaku di sana.
Aku menghitung jumlah orang yang ada di sekitar Pak Dimas. Satu, dua, lima, belasan orang.
Sekarang pukul berapa?
Pukul 7:13 Wita. Matahari kian tinggi.

**

Dimas
Apa yang sedang dipikirkan anak itu di sana? Dia hanya berdiri mematung di depan gerbang rumahnya yang megah. Matahari sudah kian tinggi. Pegal-pegal kaki, pinggang dan tangan kian terasa. Kami memutuskan beristirahat sejenak. Aku melihat ke jalur yang sudah kami sentuh. Ada rasa bangga dan haru menyeruak. Tadi kami kedatangan beberapa personil yang langsung ikut bergabung. Bapak-bapak juga sepertiku dan seperti semua yang hadir di sini. Telah berumah tangga, beranak dua atau lima, dan menua. Kami perlu orang-orang yang peduli untuk membantu, bukan membatu.
Hei, Nak, apa yang kau pikirkan saat melihat kami di sini? Ini tulang-tulang renta kami banting-banting, kami tidak digaji, sebab kami bekerja untuk kami sendiri. Hei, Nak, apa yang kamu timbang-timbang lagi? Kemarilah, kamu adalah milik kami yang hilang. Bantu kami menemukanmu, jiwa-jiwa yang membantu.

**
Adam
Aku menutup pintu gerbang. Menguncinya.

**
Aku
Buru-buru kuakhiri tulisan ini saat kulihat Adam mengunci gerbang rumahnya. Beranjak aku membuka mata, hati, dan telinga. Menyusul Adam dengan membawa seteko teh hangat dan seloyang jajangan pasar buatan ibu. Semoga mereka suka.

**
Samarinda, 1 Mei 2013

No comments:

Post a Comment